Bisnis.com, Jakarta – Pembiayaan beli sekarang bayar nanti (BNPL) konon semakin populer seiring menurunnya daya beli masyarakat. Pada Juni hingga Agustus 2024, pembiayaan BNPL dari perusahaan pembiayaan meningkat dua digit berturut-turut, sedangkan Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Indonesia mengalami deflasi selama lima bulan berturut-turut mulai Mei.​

“Sebenarnya daya beli melemah dan bayar belakangan adalah sebuah pilihan,” Heru Sutadi, Direktur Eksekutif ICT Institute, mengatakan kepada Bisnis, Kamis (10 Oktober 2027).

Heru mengingatkan industri untuk menjaga rasio kredit macet atau non-performing loan (NPF) saat mencairkan dana pascabayar.

“Jadi kita perlu memilih siapa yang boleh pakai Paylater dan siapa yang tidak boleh pakai, termasuk perlunya mendorong produksi. Dari segi konsumsi, kita harus siap kalau Paylater tidak bayar tingkatkan traffic setelah pembayaran,” kata Heru.

Data menunjukkan NPF masih tunduk pada batasan peraturan OJK. Total NPF BNPL Financial pada Juni-Agustus 2024 masing-masing sebesar 3,07% dan 2,82% naik menjadi 2,52%. Namun, menurut Helu, kredit macet bisa menjadi lebih buruk tanpa konsolidasi.

“Juga tidak ada rating atau review siapa yang boleh atau tidak boleh menggunakan Paylater, semua boleh. Jadi pelajar, pelajar yang tidak ada pekerjaan, tidak punya penghasilan pakai Paylater tapi tidak bisa bayar,” kata Heru.

Senada, Nailul Huda, Direktur Ekonomi Digital Pusat Studi Ekonomi dan Hukum (Celios), mengatakan Paylater memberikan kemudahan kepada masyarakat dan merupakan pilihan yang baik.

“Bagi mereka, kebutuhannya harus dipenuhi, salah satu caranya adalah dengan BNPL. Nah sekarang BNPL meningkat, banyak PHK, dan daya beli masyarakat menurun. dana yang disediakan BNPL untuk mereka. Masyarakat, kata Huda.

Lihat berita dan artikel lainnya di Google News dan WA Channel

By admin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *