Bisnis.com, JAKARTA – Buruh Industri Hasil Tembakau (IHT) khawatir dengan ancaman PP 28 Tahun 2024 dan RPJMK.
Ketua Umum PP FSP RTMM-SPSI Sudarto AS mengatakan, saat ini terdapat 143.000 anggota FSP RTMM-SPSI yang terkait dengan sektor IHT sebagai pekerja industri.
Dalam siaran persnya tertanggal 15/10/2024 disebutkan: “Kebijakan ini jelas akan menghancurkan industri tembakau nasional. Sekitar 226 ribu pekerja yang tergabung dalam organisasi industri terkait akan terkena dampak peraturan ini.” ).
Ia menyayangkan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) tidak pernah memasukkan RTMM-SPSI dalam pasal tembakau di RNP Kesehatan.
Padahal, tembakau merupakan produk legal yang telah diakui pemerintah. Selain itu, sektor IHT telah menjadi sumber pendapatan utama negara dan menyerap jutaan tenaga kerja.
Oleh karena itu, dia meminta Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menerbitkan regulasi produk tembakau melalui RPP Kesehatan. Menurutnya, Kementerian Kesehatan menilai banyak pelarangan tembakau merupakan pengkhianatan terhadap kewajiban undang-undang kesehatan yang tidak melarang produk tembakau dengan cara apa pun.
Sudarto mencatat, regulasi produk yang ada saat ini, yakni Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 (PP 109/2012), mengatur secara komprehensif mengenai pengendalian produk tembakau.
“Penegakan peraturan ini harus dipertahankan dan diperkuat, bukan diganti tanpa tinjauan ekstensif.”
Hal serupa juga diungkapkan Peneliti Institute of Economic and Financial Development (INDEF) Tawhid Ahmed. Ia menilai, kebijakan terkait industri tembakau dapat dilakukan sesuai aturan yang tertuang dalam PP 28/2024, RPMK, seperti larangan kemasan tembakau tanpa merek, penjualan di sekitar satuan pendidikan dan taman bermain anak, serta larangan berada di luar ruangan. periklanan. mempunyai dampak ekonomi yang signifikan.
Menurut dia, jika aturan ini diterapkan, diperkirakan kerugian ekonomi mencapai 308 triliun dolar atau 1,5 persen PDB.
Selain itu, dampaknya terhadap penerimaan pajak diperkirakan mencapai Rp160,6 triliun atau 7 persen dari total penerimaan pajak negara.
“Hal ini berpotensi berdampak pada 2,3 juta pekerja di sektor Industri Pengolahan Tembakau (IHT) dan turunannya atau 1,6% dari total populasi pekerja,” ujarnya.
Tawhid menjelaskan, kebijakan PP 28/2024 dan RPMK memerlukan keterlibatan seluruh pemangku kepentingan ekosistem Industri Tembakau (IHT), tidak hanya pelaku usaha tetapi juga kementerian dan lembaga terkait.
Hal ini karena Indonesia memiliki ekosistem IHT yang kompleks dan tidak seperti negara-negara lain yang telah meratifikasi Kerangka Konvensi Pengendalian Tembakau (FCTC), negara-negara ini bukanlah negara penghasil tembakau atau tembakau dan memiliki pajak tembakau yang relatif rendah.
Tauhid mengungkapkan, pihaknya (INDEF) telah mengajukan usulan kepada pemerintah untuk perubahan PP 28/2024 dan pembatalan RPMK, terutama klausul yang berdampak negatif terhadap pendapatan negara dan perekonomian.
Selain itu, INDEF mendorong dialog antar Kementerian dan Lembaga (K/L) yang terkait dengan IHT, seperti Kementerian Perekonomian, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, Kementerian Keuangan, Kementerian Tenaga Kerja, dan Kementerian Tenaga Kerja. Kementerian Kesehatan dan Pertanian.
“Jika kebijakan dan peraturan ini terus berlanjut, pemerintah akan dapat memberikan alternatif sumber pendapatan fiskal yang hilang dan menciptakan lapangan kerja baru bagi tenaga kerja yang terkena dampaknya,” ujarnya.
Lihat Google News dan berita serta artikel lainnya dari WA