Hilirisasi Jadi Peluang Ritel Tumbuh Kala Daya Beli Kelas Menengah Anjlok

Bisnis.com, JAKARTA – Sektor ritel diperkirakan berpeluang tumbuh di tengah menurunnya daya beli masyarakat kelas menengah. Peluang ini dapat dimanfaatkan dengan menyasar bisnis inti yang didukung pemerintah. 

Dalam catatan riset Nielsen, penjualan mampu tumbuh rata-rata 14% dan pertumbuhan perekonomian nasional lebih dari 6% selama periode 2000-2012. Padahal, saat itu proporsi kelas menengah hanya 25% dan 75% merupakan kelas bawah. 

Yongky Susilo, Consumer and Retail Strategist PT Nielsen, mengatakan pelemahan merupakan peluang bagi pelaku pasar, dengan hadirnya investasi baru membuka peluang pertumbuhan di berbagai sektor. 

“Kami mempunyai peluang yang diperkirakan, saat ini berada di kisaran US$5.000 [tahun] dan diperkirakan menjadi US$10.000 pada tahun 2030, jadi ketika saya ke sana, wow, ini adalah ledakan konsumen lainnya. kata Yongky dalam acara konferensi Indonesia Industry Outlook 2025, Rabu (23/10/2024).

Menurut Yongky, resesi merupakan peluang pertumbuhan ekonomi dan pemulihan daya beli, jika nilai tambah dan manfaat dari sistem tersebut dirasakan oleh masyarakat, tidak hanya pelaku usaha. 

Hal utama yang perlu Anda lakukan adalah fokus mendatangkan investasi. Ia melihat investor dari China dan Singapura berbondong-bondong mendirikan usaha di Indonesia.

“China itu luar biasa. Kalau mau datang ke sini, banyak orang yang ingin menciptakan lapangan kerja, kalau mereka buka kafe, kopi, bubble tea, mereka ingin buka 1.000 setahun, satu tempat sudah mempekerjakan 10.000 orang, dan ada banyak lagi.” masih berencana untuk itu.” , ” jelasnya.

Namun salah satu kendala bagi pengusaha dalam negeri dan investor asing adalah terkait tingginya pajak dunia usaha dan rencana kenaikan pajak pada tahun depan. 

Yongky menegaskan, dengan lemahnya daya beli masyarakat kelas menengah, sebaiknya pemerintah menunda kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12% hingga tahun 2025.

“Saya lihat 2 tahun ke depan, pajaknya tidak boleh ada yang baru, pertahankan saja yang kemarin, tidak bisa dinaikkan karena ke depan akan turun lagi,” jelasnya. 

Selain itu, investasi enggan masuk karena izin usaha yang panjang dan biaya keekonomian yang tinggi sehingga dinilai belum kompetitif. Padahal, selama 10 tahun terakhir, pemerintah berupaya membangun infrastruktur seperti jalan, listrik, dan pelabuhan sebagai modal untuk menarik investasi. 

“Mengapa pemerintah menghabiskan banyak uang untuk infrastruktur tetapi tidak menciptakan lapangan kerja? “Kita punya OSS untuk investasi, sistemnya bagus, tapi sebenarnya sistem ini sulit, sehingga menyulitkan pengusaha lain untuk masuk OSS,” jelasnya. 

Lebih lanjut, Yongky menjelaskan, pemerintah dapat dengan cepat menyelesaikan sejumlah permasalahan investasi dan mendorong pengurangan penciptaan lapangan kerja serta meningkatkan daya beli masyarakat kelas menengah. 

“Daya beli meningkat, dari $5.000 menjadi $10.000 [PDB per kapita], sehingga jenis barang yang ingin kita jual berkualitas tinggi, lebih premium dan lebih menarik bagi Indonesia dan negara lain untuk menggarap [investasi] di Indonesia, kita punya Ada peluang untuk pulih, tapi harus cepat,” ujarnya.

Lihat berita dan artikel lainnya di Google Berita dan saluran WA

By admin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *