Bisnis.com, NUSA DUA— Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengindikasikan aturan terkait penjaminan kewajiban wajib (TPL) sebagai turunan dari Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK) masih menunggu peraturan pemerintah (PP).
Termasuk soal asuransi bencana sebagai asuransi wajib, OJK Asuransi, Pengawasan Penjaminan dan Wakil Komisioner Dana Pensiun Iwan Pasila belum bisa memberikan kepastian.
Menurutnya, penerapan asuransi wajib memerlukan aturan yang jelas agar dapat dilaksanakan secara efektif.
“Untuk TPL, kami masih menunggu PP, Peraturan Pemerintah sebagai turunan dari UU P2SK. Lalu apa cakupannya, nanti akan disampaikan oleh PP. “Nah setelah itu kami pastikan bisa terlaksana,” kata Iwan dalam konferensi pers Indonesia Rendezvous 2024 yang digelar di Nusa Dua, Bali, Kamis (10/10/2024).
Iwan menjelaskan, terkait asuransi bencana, pemerintah sudah memiliki inisiatif untuk mengembangkan sistem pembiayaan risiko bencana melalui Disaster Risk Financing Insurance (DRFI).
Ia mengatakan, inisiatif ini telah berlangsung selama beberapa tahun dan merupakan kerangka kemitraan antara pemerintah dan swasta untuk mengatasi risiko bencana seperti gempa bumi, banjir dan lain-lain.
DRFI menggunakan dana gabungan yang terutama didukung oleh pemerintah, dengan tujuan untuk melindungi aset negara dan memberikan perlindungan yang lebih luas terhadap risiko bencana.
“Sekarang pemerintah mulai mengasuransikan bangunannya. Selain itu, kami memiliki dana gabungan untuk bencana yang terus berkembang. Saat ini dananya sekitar Rp7 triliun dan targetnya akan ditingkatkan menjadi Rp40 triliun dalam beberapa tahun ke depan, kata Iwan.
Namun jumlah dana tersebut dinilai masih belum cukup untuk menutup kerugian akibat bencana besar. Misalnya saja gempa Aceh yang menelan kerugian sekitar Rp41 triliun.
Oleh karena itu, DRFI dirancang tidak hanya untuk menutup kerugian materil namun juga untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dan mendorong mitigasi risiko sejak dini. Pengelolaan data potensi bencana, khususnya gempa bumi, juga menjadi prioritas.
Menurut Iwan, keberadaan data tersebut penting untuk mengetahui lokasi rawan bencana sehingga mitigasi dapat dilakukan lebih akurat.
“Kami sudah memiliki data mengenai kemungkinan gempa bumi di Indonesia, dan data ini membantu mengidentifikasi wilayah mana yang paling berisiko. Dengan cara ini, kita dapat menciptakan kesadaran masyarakat dan lebih memitigasi dampak implementasi, seperti membangun rumah tahan gempa,” ujarnya.
Namun, tantangan terbesar bagi masyarakat yang tinggal di zona merah, dimana mereka sadar akan risikonya, adalah tidak mudah bagi mereka untuk pindah ke tempat yang lebih aman.
Untuk menghadapi risiko-risiko besar, terutama yang tidak dapat ditanggung oleh asuransi dalam negeri, Iwan menyebutkan pentingnya kerja sama dengan reasuransi internasional.
Menurut dia, beberapa risiko yang tidak dapat ditanggung oleh industri dalam negeri memerlukan bantuan reasuransi asing.
Namun, ada juga risiko yang sangat besar yang tidak dapat diasuransikan sama sekali dan tanggung jawab ada di tangan pemerintah.
“Tapi ada bagian yang di atas ya kawan-kawan, bagian-bagian itu berbahaya dan tidak bisa diasuransikan. Nah, itu tanggung jawab pemerintah. Jadi pertanyaannya bagaimana memitigasi risiko-risiko itu, yang sekarang terjadi di DRFI” , katanya.
Simak berita dan artikel lainnya di Google News dan WA Channel