Bisnis.com, Jakarta – Ada opsi pemerintah menawarkan dana talangan untuk menyelamatkan raksasa tekstil PT Sri Rejeki Isman Tbk. (SRIL) atau Sritex bangkit dari kebangkrutan. 

Reni Yanita, Wakil Direktur Jenderal Kimia, Farmasi, dan Tekstil (IKFT) Kementerian Perindustrian membenarkan dana pemulihan dan insentif tersedia untuk Sritex dan seluruh industri tekstil. 

“Iya [stimulus atau dana penyelamatan], tapi kita lihat bagaimana modelnya disiapkan. Ya, karena dibagikan. [Penyelamatan] Kita lihat,” kata Reni dari Kementerian Perindustrian. Kantor, Senin (28/10/2024).

Reni mengatakan pemerintah tidak mengambil kebijakan pengambilalihan Sritex. Ia juga memastikan Kementerian Perindustrian akan berkoordinasi dengan Kementerian Sumber Daya Tenaga Kerja (Kemenaker), Kementerian Keuangan (Kemenkeu), dan Badan Usaha Ekonomi Negara (SEE). 

Guna mengoordinasikan Reni dengan keempat kementerian tersebut, Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita hari ini menemui Komisaris Utama (Komando) Sritex Ayvan S. di kantor Kementerian Perindustrian. Bertemu Lukminto. 

“Untuk menyelamatkan itu, Menteri Perindustrian harus tahu dulu ya? Jadi pada rapat hari ini kita perlu tahu bagaimana situasi saat ini, maka akan disiapkan langkah-langkah upaya penyelamatan,” ujarnya. 

Lebih lanjut, Reny mengatakan tugas Menteri Perindustrian adalah melindungi tenaga kerja dan mendorong ekspor. Selain itu, Menteri Perindustrian Agus juga menanyakan pemanfaatan produksi di empat pabrik Sritex. 

Berdasarkan informasi yang diterima Kementerian Perindustrian, keuntungan produksi Sritex kini mencapai 65 persen atau meningkat 40 persen dibandingkan masa pandemi. Ia juga mencatat, operasional Sritex masih berjalan seperti biasa. 

“Dengan menggunakan ini, pemerintah juga terpaksa menggunakan bahasa tersebut untuk mengambil atau menghemat uang. Yang terpenting bagi dunia usaha adalah menghindari situasi tersebut, kita akan kehilangan perusahaan yang menyediakan ribuan lapangan kerja,” jelas Reny. 

Atas perintah Presiden Prabowo Subianto untuk memangkas empat kementerian, Reni mengatakan langkah itu bisa memberikan jaminan kepada pihak ketiga yang terikat kontrak dengan Sritex bahwa kondisi bisnis akan aman dengan keterlibatan pemerintah. 

“Tanpa ada arahan, karena ini industri, maka tanggung jawab menterilah yang memastikan industri itu tetap berjalan,” tutupnya. 

Diberitakan sebelumnya, Sritex resmi dinyatakan pailit oleh Pengadilan Negeri Niaga (PN) Semarang menyusul putusan Pengadilan Negeri Semarang dalam perkara 2/Pdt.Sus-Homologasi/2024/PN Niaga Smg. Pembacaan putusan pailit terhadap Sritex dan perusahaan lainnya digelar pada Senin 21/10/2024 di Pengadilan Negeri Niaga Semarang. 

Mengutip situs resmi SIPP PN Semarang, Kamis (24/10/2024), pemohon yakni PT Indo Bharat Rayon mengajukan penghentian perjanjian dengan tergugat karena tidak mampu memenuhi kewajiban pembayarannya. 

Selain itu, yang tergugat bukan hanya Sritex, tapi juga anak perusahaan lainnya seperti PT Sinar Pantja Djaja, PT Bitratex Industries, dan PT Primayudha Mandirijaya.  

Dalam kasus ini, PT Indobharat meminta Pengadilan Negeri Niaga membatalkan putusan Pengadilan Negeri Semarang Nomor 2. 12/Pdt.Sus PKPU/2021.PN.Niaga.Smg Tentang Persetujuan Rencana Perdamaian (homologasi) 25 Januari 2022.  Opsi pemulihan Sritex

Sementara itu, Andri Satrio Nugroho, presiden Pusat Industri, Perdagangan dan Investasi Indef, mengatakan pemerintah harus melakukan intervensi untuk mempertahankan puluhan ribu pekerja Sritex, dan salah satunya adalah keringanan utang.

“Kalau Himbara gabung, keringanan utangnya bagus. Tapi mekanisme dan prosedurnya juga sesuai tentunya,” ujarnya kepada Andrew Business. 

Selain relaksasi, pemerintah juga harus membantu Sritex untuk mencari pembeli industri bagi produknya. Dengan begitu, pendapatan SRIL bisa stabil, kata Andri. 

Namun, demi mencegah Sritex membayar krediturnya, Andri menilai pemerintah tidak akan bisa memberikan dana talangan berupa pengambilalihan perusahaan tersebut. 

“Kalau mau jadi BUMN, perlu persetujuan DPR. Jadi mau model apa? “Saat ini banyak perusahaan pelat merah yang bermasalah, jadi kita tidak yakin bisa menyelesaikannya. masalah perusahaan,” jelasnya. 

Di sisi lain, ia menilai tanpa kebijakan strategis pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, kondisi industri TPT saat ini masih akan menghadapi badai PHK. Oleh karena itu, pemerintah harus bertindak untuk mengatasi masalah ini. 

“Saya kira itu sangat bagus, seperti yang dilakukan Pak Presiden kemarin, tapi kita perlu ekosistem industri TPT yang bisa bersaing di negara sendiri dan bagaimana di negara sendiri,” ujarnya. 

Direktur Eksekutif CORE Mohammad Faisal mengatakan kasus kebangkrutan Sritex memperburuk permasalahan yang dihadapi industri padat karya, khususnya industri tekstil. 

Menurut dia, permasalahan klasik tahunan ini muncul akibat inkonsistensi kebijakan yang seharusnya mendukung industri dalam negeri, baik dari sisi akses pasar maupun biaya produksi. 

Di sisi lain, lanjut Faisal, pemerintah juga harus mengatasi permasalahan biaya produksi, termasuk tingginya biaya energi bagi industri. Dalam hal ini, penting untuk memberikan insentif untuk mengurangi biaya awal. 

“Terlalu banyak asimetri akses terhadap pasar dalam negeri, termasuk masalah pengendalian impor legal dan ilegal yang mengganggu pasar industri TPT dalam negeri,” ujarnya. 

Faisal mengatakan pemerintah harus bertindak cepat mengatasi permasalahan yang dihadapi sektor tekstil padat karya karena dampaknya dapat meningkatkan pengangguran dan penyakit sosial. 

Lihat berita dan artikel lainnya di Google News dan WA

By admin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *