Bisnis.com, JAKARTA – Badai kembali menerpa industri tekstil dalam negeri, kali ini bangkrutnya PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex), salah satu perusahaan tekstil terbesar di Indonesia.
Sejak didirikan pada tahun 1961, Sritex telah berkembang dari industri kecil pembuatan kain katun menjadi salah satu raksasa tekstil di Asia Tenggara dengan kapasitas produksi yang mampu mencakup berbagai macam tekstil mulai dari pakaian olahraga hingga pakaian formal.
Sritex bahkan berhasil menjangkau pasar internasional dengan menyelesaikan kontrak-kontrak bergengsi, termasuk perjanjian dengan NATO, membuktikan kemampuannya dalam memenuhi standar kualitas tinggi dan kebutuhan pasar global.
Selain prestasi internasionalnya, Sritex juga memberikan kontribusi signifikan terhadap perekonomian nasional melalui kontribusi ekspor TPT yang mencapai USD 257,86 juta pada tahun 2022.
Kini penutupan Sritex menambah daftar panjang pabrik tekstil yang tutup dalam lima tahun terakhir. Berdasarkan data yang tercatat, setidaknya ada empat perusahaan tekstil lainnya yang terpaksa tutup sehingga berdampak pada sekitar 6.500 pekerja yang kehilangan mata pencaharian. Fenomena ini pada akhirnya menegaskan lemahnya daya saing industri TPT Indonesia secara keseluruhan.
Meskipun sektor ini menyumbang 6% dari industri manufaktur dan 1,2% PDB pada tahun 2020, kinerjanya mengalami tren penurunan. Pertumbuhan industri tekstil dan pakaian jadi yang mencapai 4,7% pada periode 2010-2019 nampaknya belum mampu menahan penurunan tersebut. Sebagai industri yang menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar, dengan jumlah pekerja tekstil dan pakaian jadi sebanyak 2,9 juta orang pada tahun 2018, anjloknya kinerja industri tersebut berdampak langsung terhadap perekonomian dalam negeri.
Secara global, daya saing tekstil Indonesia terus menurun, dari pangsa pasar 2,1% pada tahun 2001 menjadi hanya sekitar 1,4% pada tahun 2023. Situasi ini diperparah dengan melambatnya pertumbuhan ekspor, sementara negara pesaing seperti Bangladesh dan Vietnam justru mengalami peningkatan yang signifikan. dalam ekspor.
Meningkatnya impor produk tekstil semakin memperburuk situasi, sehingga surplus perdagangan tekstil Indonesia menyusut menjadi hanya sekitar US$3,5 miliar pada tahun 2023.
Ironisnya, pangsa produk TPT dalam negeri di pasar dalam negeri terus mengalami penurunan. Berdasarkan data Asosiasi Produsen Tekstil, pangsa konsumsi produk dalam negeri yang mencapai 65% pada tahun 2016, menurun menjadi 56% pada tahun 2019. Pakaian rumah. , meningkatkan ketergantungan pada impor. Langkah-langkah penyelamatan
Mengingat posisi Sritex yang strategis dalam industri TPT di Indonesia, maka pemerintah harus menyiapkan kebijakan khusus untuk menyelamatkan sektor ini. Di tingkat korporasi, pemerintah dapat membantu Sritex dan perusahaan tekstil yang sekarat melalui program restrukturisasi utang yang komprehensif.
Intervensi tersebut dapat dilakukan dengan membentuk tim khusus yang terdiri dari pemangku kepentingan terkait seperti Kementerian Keuangan, Kementerian Perindustrian, dan Otoritas Jasa Keuangan.
Tim ini bertugas mengusulkan skema restrukturisasi yang tepat, termasuk penjaminan sebagian utang Sritex, dengan syarat efisiensi dan perbaikan manajemen perusahaan. Selain itu, pemerintah dapat memberikan dukungan likuiditas, seperti kredit lunak atau suntikan modal baru, dan memberikan moratorium pembayaran utang sementara untuk memberikan ruang bagi perusahaan untuk meningkatkan kinerja keuangan.
Bagi industri TPT secara umum, reindustrialisasi harus didorong melalui kebijakan proteksionis. Pemerintah dapat mempertimbangkan untuk merevisi Peraturan Menteri Perdagangan 8/2024 untuk memberikan perlindungan yang lebih besar terhadap pasar dalam negeri.
Kebijakan antidumping terhadap produk impor dengan harga lebih rendah juga perlu diperkuat. Dengan standar kualitas yang ketat terhadap produk impor, industri TPT lokal akan mempunyai peluang untuk bersaing secara lebih sehat dan memperbaiki keadaan keuangan perusahaan.
Selain kebijakan proteksi, pemerintah harus memberikan insentif fiskal yang dapat menekan biaya produksi industri TPT. Tax holiday bagi perusahaan yang sedang dalam proses pemulihan, serta subsidi energi khusus untuk sektor ini, dapat memperkuat daya saing.
Dukungan instrumen kredit berbunga rendah untuk modernisasi mesin memungkinkan perseroan meningkatkan efisiensi produksi dan meningkatkan margin keuntungan.
Pemerintah juga harus berinvestasi dalam meningkatkan keterampilan tenaga kerja di sektor tekstil. Program pelatihan yang lebih terstruktur bagi pekerja tekstil, kerjasama dengan asosiasi industri dan pemutakhiran kurikulum di lembaga sertifikasi keterampilan dan sekolah kejuruan sangat diperlukan untuk memenuhi standar industri yang semakin modern. Kebijakan program kartu prakerja dapat menjadi solusi investasi keterampilan tersebut.
Langkah terakhir yang tidak kalah pentingnya adalah mempromosikan produk tekstil Indonesia di pasar global dan membantu industri untuk menjangkau pasar baru.
Upaya tersebut dapat dicapai melalui diplomasi ekonomi yang membuka akses pasar baru, serta dukungan teknis bagi perusahaan yang ingin mengikuti pameran internasional. Fasilitasi sertifikasi internasional dan peran atase perdagangan dapat memperkuat posisi produk TPT Indonesia di pasar global yang potensial.
Lihat berita dan artikel lainnya di Google News dan WA Channel