Bisnis.com, Jakarta – Di masa pandemi COVID-19, Presiden Joko Widodo memberi wewenang kepada Bank Indonesia untuk membeli surat utang negara di pasar perdana untuk membenahi sektor keuangan. Banyak pertanyaan yang diajukan mengenai kebijakan ini karena tampaknya kebijakan tersebut tidak memberikan dana yang cukup kepada Bank Indonesia. Kebijakan ini dikenal dengan tanggung jawab bersama.
Dari segi informasi bisnis, program bersama ini pertama kali diperkenalkan oleh Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjio pada awal pandemi. Saat itu, Perry mengumumkan BI dan Kementerian Keuangan telah mencapai kesepakatan untuk mendukung kerja sama kebutuhan keuangan APBN.
Ia mengklaim penguatan kemitraan ini dapat meningkatkan kepercayaan investor terhadap utang pemerintah. Apalagi, kemitraan ini akan meningkatkan aliran dana di pasar utang Tanah Air.
“Kami dan Menkeu akan berbagi tanggung jawab atas penerbitan SBN ini berdasarkan kesepakatan bersama yang sedang kami kerjakan,” kata Perry dalam konferensi pers di Istana, Rabu (3/6/2020). ,
Pada tanggal 31 Maret 2O2O, Presiden Jokowi menandatangani Pemerintahan Pengganti Undang-Undang (Perappu) no. 1/2020. Dalam undang-undang tersebut, Pasal 16 ayat (1) huruf C menyatakan bahwa BI berhak:
…pembelian Surat Utang Negara dan/atau Surat Berharga Syariah Negara yang bersifat jangka panjang di pasar perdana, termasuk Surat Utang Negara dan/atau Surat Berharga Syariah Negara yang diterbitkan untuk tujuan khusus, guna menyelesaikan permasalahan keuangan yang merugikan perekonomian negara. Konteks. Virus pandemi Corona 2019 (COVID-19).
Proses pembagian beban diakui dalam UU No. 4 Tahun 2023 Tentang Dana Pertumbuhan dan Pembangunan (UU PPSK). Pasal 36A ayat (1) huruf A UU PPSK menyatakan:
Untuk menjaga stabilitas sistem
Terhadap permasalahan keuangan yang timbul akibat krisis, Bank Indonesia berhak:
Satu. Membeli surat berharga pemerintah jangka panjang di pasar pertama untuk menyelesaikan masalah keuangan yang merugikan perekonomian nasional.
Beban pemerintah
Berdasarkan informasi Badan Jasa Keuangan (BPK) berdasarkan hasil Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) tahun 2021, toko pertama dengan harga penuh menjual utang pemerintah secara eksklusif kepada Bank Indonesia (BI) secara terpisah. Sebesar Rp612,56 triliun.
Utang pemerintah kepada BI akan meningkat pada tahun 2025 (Rp 100 triliun), 2026 (Rp 154,5 triliun), 2027 (Rp 154,5 triliun), 2028 (Rp 152,06 triliun), dan 2029 (Rp 51,5 triliun).
Sejauh ini pemerintah belum menjelaskan bagaimana utang kepada bank sentral tersebut akan dilunasi dengan fasilitas kredit terbatas mulai tahun depan.
Selain Bank Indonesia, Kementerian Keuangan (Kemenku) mencatat profil utang pemerintah diperkirakan meningkat menjadi Rp 800,33 triliun pada tahun 2025. Jumlah tersebut meliputi pertumbuhan SBN sebesar Rp705,5 triliun dan pertumbuhan pinjaman sebesar Rp94,83 triliun.
Pembayaran bunga diperkirakan sebesar Rp 552,9 triliun pada tahun 2025. Alhasil, pemerintahan Prabowo harus menarik uang kas negara sekitar Rp 1.353,23 triliun untuk menutupi pokok utang dan bunga utang tersebut.
Sebaliknya, APBN 2025 mematok APBN sebesar Rp3.621,3 triliun. Dengan strategi tersebut, hanya Rp 2.268,07 triliun yang bisa digunakan, sisanya digunakan untuk membayar utang.
Kepala Ekonom PT Bank Permata Tbk. (BNLI) Joshua Pardede menilai salah satu cara yang dipertimbangkan pemerintah untuk melunasi utang besar tersebut adalah dengan melakukan restrukturisasi utang, yakni mengubah pinjaman jangka pendek menjadi pinjaman jangka panjang.
Menurut dia, jika pemerintah memilih melakukan restrukturisasi utang, maka risiko pembengkakan utang bisa dikendalikan dengan menunda pembayaran sehingga tidak berdampak langsung dan menghabiskan banyak uang dalam waktu bersamaan.
Namun suku bunga bisa saja naik dalam jangka panjang, apalagi jika suku bunga simpanan baru lebih tinggi, ujarnya, Minggu (27/10/2024).
Di antara beberapa opsi yang bisa dilakukan pemerintah, Joshua menyebut isu penerbitan SBN baru untuk melunasi pinjaman lebih besar yang disebut refinancing. Dalam hal ini, pemerintah harus memastikan bahwa suku bunga yang ditetapkan menarik bagi investor namun tetap dalam batas anggaran kesehatan.
Meskipun hal ini dapat meningkatkan utang pemerintah, langkah ini juga dapat meningkatkan beban bunga, terutama jika suku bunga yang lebih tinggi diumumkan sebagai bunga pinjaman dalam jumlah besar.
Simak berita dan artikel lainnya di Google News dan WA Channel