Bisnis.com, Jakarta – Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto tampaknya mempertimbangkan untuk menaikkan pajak pertambahan nilai atau pajak pertambahan nilai menjadi 12 persen pada tahun 2025. Faktanya, pemerintahan Presiden Jokowi selalu ngotot untuk menerapkan kenaikan tarif pajak di masa lalu.
Pada tahun tersebut Kenaikan tarif PPN dari 11% menjadi 12% pada 1 Januari 2025 merupakan dampak dari Peraturan 7/2021 tentang Harmonisasi Undang-Undang Perpajakan (UU HPP).
Usai keluarnya hasil Pilpres 2024, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Erlanga Hartarto mengatakan UU HPP akan dilanjutkan oleh Presiden terpilih Prabowo.
“Kami melihat masyarakat Indonesia sudah menentukan pilihan, pilihannya adalah keberlanjutan. Kalau memang berkelanjutan maka berbagai program yang dimulai pemerintah akan terus dilanjutkan, termasuk kebijakan pajak pertambahan nilai,” ujarnya dalam konferensi pers, Jumat. 08/03/2024).
Erlanga saat itu mengatakan, pemerintah akan mulai menyusun Rencana Kerja Pemerintah (GWP) tahun anggaran 2025.
Setelah Presiden Jokowi menyerahkan rancangan UU APBN 2025 ke DPR pada pertengahan Agustus lalu, Erlanga mengumumkan tarif PPN akan terus dinaikkan sebesar 1% pada awal tahun 2025 hingga diatur dalam Pasal 7 ayat (1) UU HPP. . Tidak dicabut oleh undang-undang lain mana pun.
“[Masih meningkat 12%] menurut HPP,” kata Airlangga di Kantor Direktur Jenderal Pajak, Jakarta Selatan, Jumat (16/8/2024).
Sementara itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati membuat banyak pihak kebingungan dengan menyoroti rencana kenaikan tarif PPN. Apalagi, kata dia, kenaikan PPN akan melindungi daya beli masyarakat.
Sri Mulyani menjelaskan, barang/jasa yang memenuhi kebutuhan dasar seperti pendidikan, kesehatan, dan transportasi tidak dikenakan PPN. Dengan demikian, kelas menengah kaya terbukti menjadi kelompok yang paling menikmati kebijakan PPN.
“Kalau melihat warna biru tua di atas (kebijakan bebas PPN), maka kelas menengah dan dalam hal ini kelas atas (golongan kaya) akan lebih senang,” kata Sri Mulyani dalam konferensi pers RAPBN 2025. Direktorat Jenderal Pajak, Jakarta Selatan, Jumat (16/08/2024).
Singkatnya, pemerintahan telah berubah. Presiden Jokowi resmi digantikan oleh Presiden Prabowo.
Nasib PPN sepertinya sudah berubah. Erlanga yang kembali menjabat Menko Perekonomian menyatakan, setelah kementerian di bawahnya menggelar rapat koordinasi, kenaikan pajak pertambahan nilai akan kembali dibicarakan.
Artinya, ada kemungkinan pembatalan kenaikan PPN awal tahun depan – kemungkinan yang dikesampingkan oleh pemerintahan Jokowi.
“Mereka masih bernegosiasi dengan Kementerian Keuangan. Jadi kami akan terus bernegosiasi [menaikkan tarif PPN menjadi 12%],” kata Airlangga usai menggelar rapat koordinasi di Jakarta Selatan, Minggu (3/11). /2024). Kelebihan dan kekurangan PPN 12%.
Pernyataan Mengapa pemerintah ingin menaikkan tarif pajak pertambahan nilai? Ini menunjukkan hal itu Para ahli memperkirakan kenaikan pajak pertambahan nilai sebesar 1 persen dari 11 persen menjadi 12 persen pada tahun 2025 akan menghasilkan pendapatan pemerintah setidaknya Rp 73,76 triliun.
Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute (TRI) Priyanto Budi Saptono mengatakan, nilai tersebut berdasarkan perkiraan berdasarkan target APBN PPN dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM) tahun 2024 yang berjumlah Rp 811,36 triliun.
Pada tahun tersebut Jika kita berasumsi bahwa pajak pertambahan nilai akan meningkat menjadi 12 persen pada tahun 2025 dan DPP tidak berubah, maka PPN akan meningkat. 885,12 triliun. Kenaikannya Rp 73,76 triliun,” ujarnya kepada Bisnis 2024, 13 Maret.
Namun survei Industry Outlook 2025 dari Inventure Indonesia menemukan bahwa 92 persen kelas menengah menginginkan Prabowo menghapuskan atau menaikkan pajak pertambahan nilai alias PPN menjadi 12%.
Ketua Pendiri Indonesia Industry Outlook Yuswohadi menjelaskan survei tersebut menanyakan kepada kelas menengah: Apa saja kebijakan pemerintahan Joko Widodo (Jokowi), presiden ketujuh Republik Indonesia, yang sebaiknya dihapuskan, direvisi, atau dilanjutkan oleh kubu Prabowo-Sandi? pemerintahan Gibran?
Alhasil, kenaikan PPN menjadi 12 persen pada 1 Januari 2025 ditolak.
Yuswohadi mengatakan pada konferensi Indonesia Industry Outlook 2025 di Wisma Bisnis bahwa “[dari seluruh responden] 49% mengatakan harus dibatalkan, 43% mengatakan harus direvisi [92% secara keseluruhan] dan hanya 7% yang meminta Pak Prabowo untuk melanjutkan. Indonesia , Jakarta Pusat.
Institute for Economic and Financial Development (INDEF) percaya bahwa menaikkan tarif pajak pertambahan nilai akan lebih banyak merugikan daripada menguntungkan.
Direktur Eksekutif Indef Esther Sri Astuti mengatakan pihaknya telah menyiapkan kajian mengenai dampak kenaikan PPN sebesar 12,5% pada tahun 2021. Akibatnya seluruh perekonomian mengalami keruntuhan.
Rinciannya: upah nominal atau riil turun 5,86%, indeks harga konsumen 0,84%, pertumbuhan ekonomi 0,11%, konsumsi masyarakat 3,32%, ekspor 0,14%, impor 7,02%.
“Kalau tarif PPN naik menjadi 12,5%, angka situasinya seperti itu, tapi ketika Presiden Prabowo terpilih pada Januari 2025, rencananya tarif PPN akan naik 12%, jadi itu jumlah yang moderat,” ujarnya. Eszter dalam debat publik Indef secara online, Kamis (12/09/2024).
Dia menjelaskan, angka-angka tersebut diperoleh berdasarkan temuan bahwa sektor keuangan pemerintah secara keseluruhan kecil akibat menurunnya penerimaan pajak. Tidak hanya pada pengeluaran saja, namun lebih banyak terkena pengeluaran rutin dibandingkan pengeluaran modal.
Pengusaha mengkritisi wacana kenaikan PPN. Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) meminta pemerintah mengkaji ulang penerapan kebijakan tersebut karena kondisi perekonomian sedang serius.
Ajib Hamdani, Analis Kebijakan Ekonomi Apindo, menjelaskan daya beli masyarakat menurun dan jutaan masyarakat kelas menengah bergerak ke bawah. Oleh karena itu, jika pemerintah ingin mendapatkan lebih banyak pendapatan negara, mereka mengusulkan cara berbeda.
Menurut dia, ada dua kebijakan yang bisa diambil. Pertama, pemerintah dapat menurunkan ambang batas Pendapatan Tidak Kena Pajak (NTIP) untuk melindungi daya beli masyarakat. PMK no. 101/2016. Sesuai Keputusan PTKP Nomor, besaran PTKP adalah Rp54 juta per tahun atau Rp4,5 juta per bulan.
“Pemerintah bisa menambah PTKP sebesar 100 juta, misalnya bisa meningkatkan daya beli masyarakat menengah ke bawah. Bagian ini uangnya akan kembali ke perekonomian, mereka cenderung mengeluarkan berapa pun peningkatan kemampuan menerima negara. .Penghasilan,” kata Ajib, Senin (12/08/2024).
Kedua, pemerintah fokus mengalokasikan belanja pajak, belanja pajak dengan PPN Bunga Pemerintah (DTP) pada sektor-sektor yang banyak menggerakkan kereta ekonomi. Ia telah memberi contoh bagi para pendukungnya dari sektor real estate seperti pertanian, perikanan, dan peternakan.
Namun pengeluaran pajak ini perlu diperhitungkan dengan baik agar insentif sektor swasta tetap berjalan baik di satu sisi, dan di sisi lain pendapatan pemerintah harus membuahkan hasil. Tetap cerdas secara fiskal,” kata Ajib.
Lihat berita dan artikel lainnya dari Google Berita dan The Watch Channel