Bisnis.com, JAKARTA – Pasar obligasi negara (SBN) berpotensi menghadapi tantangan di tengah sejumlah sentimen eksternal seperti arah kebijakan moneter dan hasil pemilihan presiden Amerika Serikat (AS) pasca kemenangan Donald Trump. .
Yield Treasury AS tenor 10-tahun terpantau menutup perdagangan Selasa (11/5/2024) dengan kenaikan 2,96% menjadi 4,41% seiring dengan sinyal kemenangan kandidat Partai Republik Donald Trump dalam perhitungan interim.
Dalam peluncuran Fox News, Rabu (6/11/2024), Decision Desk Fox News memproyeksikan mantan Presiden Trump telah mengalahkan Wakil Presiden Kamala Harris.
Berdasarkan hasil hitung cepat Fox News, Trump meraih 277 suara elektoral dibandingkan Harris yang memperoleh 226 suara. Jumlah suara Trump melebihi batas minimum suara Electoral College yang dibutuhkan untuk mengamankan kursi kepresidenan, yakni 270 suara.
Kemenangan ini sekaligus menorehkan sejarah baru bagi AS. Trump adalah presiden pertama yang menjabat dua periode tidak berturut-turut sejak Grover Cleveland pada tahun 1892 – dan merupakan presiden kedua dalam sejarah.
Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengatakan, dampak pemilu presiden AS terhadap pasar obligasi dalam negeri terlihat dari pergerakan imbal hasil obligasi pemerintah (SUN) tenor 10 tahun yang naik 5 basis poin menjadi meningkat 6,79%.
“Dalam beberapa jajak pendapat menjelang pemilu presiden AS sebelumnya, terdapat ekspektasi kemenangan Trump yang akan merangsang peningkatan imbal hasil UST, hal ini juga didukung oleh keluarnya data perekonomian AS yang positif,” kata Josua, Rabu (6/11/2024). ) ).
Josua menyatakan, kenaikan imbal hasil US Treasury seringkali berdampak pada imbal hasil obligasi negara berkembang, termasuk Indonesia, akibat adanya pergeseran arus investasi ke aset yang lebih aman di AS. Tekanan terhadap pasar obligasi Indonesia juga terlihat dari menurunnya penawaran masuk pada lelang SUN akhir Oktober lalu ketika total penawaran masuk mencapai titik terendah pada tahun ini.
Sentimen ini diperkuat dengan terus melemahnya nilai tukar terhadap dolar AS, ujarnya.
Hasil pemilu presiden AS, lanjut Josua, berpotensi berdampak lebih lanjut pada pasar obligasi jika memicu ekspektasi perubahan kebijakan fiskal atau perdagangan yang dapat mempengaruhi arus investasi ke emerging market.
Saat ini, pasar dikelilingi oleh ekspektasi bahwa The Fed akan mempertahankan suku bunga lebih tinggi dalam jangka pendek dan kemungkinan akan mempertahankannya hingga Desember 2024.
Di sisi lain, ada pula arah kebijakan Donald Trump yang mungkin berdampak pada perekonomian dan pasar keuangan di Indonesia. Beberapa di antaranya adalah kebijakan pemotongan pajak korporasi, kenaikan tarif impor, dan kebijakan terkait nilai tukar dolar AS.
“Jika Donald Trump terpilih kembali menjadi presiden AS, terdapat potensi penguatan dolar AS akibat pendapatan tarif yang dapat dialokasikan untuk stimulus fiskal. Penguatan dolar AS berpotensi memberikan tekanan pada perekonomian. mata uang negara berkembang, termasuk rupiah. “Hal ini dapat meningkatkan biaya impor bagi Indonesia dan meningkatkan tekanan inflasi dalam negeri,” jelas Josua.
Cek berita dan artikel lainnya di Google News dan WA Channel