Bisnis.com, Jakarta – Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakaboming Raka akan memimpin Indonesia pada tahun 2024 hingga 2029. Prabowo pun sudah mengumumkan kabinetnya pada 21 Oktober 2024.
Sayangnya Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves) dicopot, namun untungnya Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tetap dipertahankan. Hilangnya Kementerian Koordinator Kelautan dan Perikanan menimbulkan tanda tanya besar. Perjuangan pihak-pihak yang berkepentingan terhadap pembentukan Kementerian Koordinator Kemaritiman terus berlangsung sejak masa Orde Baru hingga awal reformasi.
Pemerintahan baru Jokowi periode 2014-2019 (Kementerian Kelautan dan Sumber Daya) dan periode 2019-2024 (Kementerian Koordinator Kelautan dan Perikanan). Kementerian ini dilindungi oleh UU Kelautan No. 32/2014. Apakah pencopotan Kementerian Koordinator Penanaman Modal oleh pemerintahan Prabowo Gibran merupakan bentuk pengabaian orientasi maritim ataukah ada ancaman geopolitik global yang perlu diwaspadai secara serius? prioritas
Pemerintahan Prabowo-Gibran memprioritaskan pangan dan membentuk Kementerian Koordinasi Pangan karena menduduki peringkat pertama Indonesia pada peringkat 63 (skor 60,20) dari 113 negara dalam laporan Global Food Security Index (GFSI) 2023 pada tahun 2023. Global Hunger Index (GHI) 2023 ) menempatkan Indonesia pada peringkat ke-77 (17,6 poin) dari 125 negara, termasuk kategori menengah (Welthungerhilfe & Concern Worldwide, 2023). Kesimpulannya: Indonesia aman pangan dan tidak berisiko kelaparan.
Absennya Kementerian Kelautan dan Investasi diduga karena dari sudut pandang ekonomi politik, pangan dianggap lebih penting dibandingkan urusan kelautan. Program: Kekayaan pangan, kekayaan udang (akuakultur) dan pangan bergizi gratis. Permasalahan kelautan tidak hanya terkait dengan perikanan, pesisir dan pulau-pulau kecil saja, namun juga mencakup sistem pembangunan ekonomi, politik, budaya, ekologi, sosial, peradaban, dan geopolitik di Indonesia.
Sumaila dkk (2021), membagi perekonomian maritim menjadi dua kelompok: (1) sektor mapan meliputi: perikanan, pengolahan makanan laut, transportasi laut, pelabuhan, manufaktur dan konstruksi maritim (marine manufacturing and Construction), pariwisata maritim dan pesisir. pariwisata kelautan dan pesisir), jasa kelautan komersial (commercial kelautan services), penelitian, pengembangan dan pelatihan kelautan (marine Research and Development and Training), pengerukan dan; (2) Sektor berkembang: budi daya kelautan, minyak dan gas perairan dalam dan ultra-dalam, energi angin lepas pantai, energi terbarukan kelautan (energi laut terbarukan), penambangan laut dan dasar laut, keamanan dan pemantauan maritim, bioteknologi kelautan, produk teknologi maju kelautan dan layanan.
Sedangkan sektor non-ekonomi: budaya maritim, peradaban maritim, diplomasi maritim, keamanan maritim, pekerja perikanan dan geopolitik maritim. Perekonomian dan nonekonomi laut didasarkan pada struktur makro dalam pembangunan infrastruktur nasional Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Kedua, secara geopolitik, terdapat klaim bahwa Prabowo khawatir dampak perang Rusia-Ukraina dan konflik Timur Tengah – Israel, Palestina, dan negara-negara Arab lainnya – akan menyebar ke Asia. Akibatnya, negara-negara produsen pangan akan menahan diri untuk tidak menjual pangannya. Inilah sebabnya mengapa Prabowo menekankan pangan dalam kebijakan pemerintahannya.
Ketiga, pada masa pemerintahan Jokowi, Kementerian Koordinator Kelautan dan Perikanan mengelola aspek yang sama dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan (MMFA). Misalnya Kantrang, ekspor benih rajungan transparan (BBL), reklamasi, pencemaran plastik, dan ekspor pasir laut. Kementerian Koordinator Bidang Kelautan dan Perikanan harus mengkoordinasikan berbagai kebijakan di kementerian/lembaga yang menangani ekonomi maritim (yang sudah mapan dan berkembang) dan non-ekonomi sebagai domainnya.
Pasalnya, selama 10 tahun pemerintahan Jokowi, mekanisme koordinasi dan tata kelola belum sempurna. Faktanya, kementerian/lembaga yang berada di bawah koordinasinya telah melahirkan berbagai kebijakan kontradiktif yang menyebabkan penolakan masyarakat pesisir, misalnya ekspor pasir laut.
Keempat, Kementerian Koordinator Kelautan dan Perikanan juga telah mengelola investasi serupa dengan Kementerian Investasi sejak tahun 2019. Tumpang tindih kelembagaan tampaknya menghalangi Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman untuk memenuhi harapan masyarakat dalam implementasi di Indonesia. Poros Maritim Global (GMD). Ironisnya, pemerintahan Prabowo-Gibran justru menghapusnya.
Kelima, Kementerian Koordinator Bidang Kelautan dan Perikanan semasa hidupnya jarang sekali mengeluarkan kebijakan yang mencolok demi mensejahterakan masyarakat pesisir, malah mengeluarkan berbagai peraturan yang kontradiktif.
Di satu sisi, kita ingin mengelola sumber daya secara berkelanjutan, namun di sisi lain, kita menciptakan permasalahan baru yang mengorbankan dan mengasingkan masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil. Misalnya saja UU Cipta Kerja no. 6/2023, Penangkapan Ikan Terukur (PIT) melalui PP No. 11/2023, Peraturan Menteri KP No. 28/2023 dan Keputusan Menteri No. KP. 16/2024, Industri untuk Ekspor Pasir Laut (Permendag 26/2024).
Hasilnya, Presiden Prabowo secara efektif membentuk Kementerian Koordinator Pangan di kabinet pemerintahannya. Orientasinya menekankan pada “swasembada pangan” melalui kebijakan-kebijakan yang meragukan mengenai kekayaan pangan dan udang, serta mengkritik keberhasilannya.
Akibatnya paradigma orientasi pembangunan nasional beralih ke daratan dan laut. Bukankah orientasi tersebut mengubur realitas sejarah-budaya dan geopolitik Indonesia sebagai bangsa yang memiliki budaya dan peradaban maritim dari zaman yang sangat jauh? agenda
Tercopotnya Kementerian Koordinator Bidang Kelautan dan Perikanan dari struktur pemerintahan Prabowo-Jabran otomatis menghancurkan impian komunitas fantasi maritim yang menginginkan Indonesia menjadi PMD. Stakeholder kelautan pasti akan bereaksi menyikapi arah kebijakan pembangunan pemerintahan Prabowo Gibran yang menghilangkan Kementerian Koordinator Kelautan dan Perikanan.
Pertama, penulis menyarankan agar pemerintahan Prabowo Gibran menghidupkan kembali Badan Koordinasi Kelautan dan Perikanan yang berada langsung di bawah Presiden yang mengkoordinasikan bidang kelautan. Dinas Perikanan membantu menyiapkan makanan berprotein ikan yang bermanfaat bagi perkembangan kecerdasan anak karena mengandung omega-3.
Kedua, Presiden Prabowo meninjau keberadaan Kementerian Koordinator Bidang Kelautan dan Perikanan. Sebab, lembaga ini mempunyai peran strategis dalam Indian Ocean Rim Association (IORA) di kawasan Samudera Hindia dan kawasan geopolitik Indo-Pasifik, termasuk perairan Samudera Hindia, Pasifik Barat, dan Tengah. Laut pedalaman di Indonesia dan Filipina.
Salah satu yang menjadi topik hangat adalah perebutan hegemoni negara adidaya maju di Laut Cina Selatan antara Amerika Serikat, Tiongkok, Jepang, dan Rusia. Indonesia membutuhkan institusi maritim yang kuat untuk berpartisipasi. Oleh karena itu, kembalinya Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman tidak bisa dihindari baik dari segi ekonomi, politik, dan geopolitik regional.
Lihat berita dan artikel lainnya di Google News dan WA Channel