Efek Domino Pelemahan Daya Beli: Ekonomi Ketat, Kredit Berat, Asuransi Tersendat

Bisnis.com, JAKARTA – Tren inflasi yang terjadi selama lima bulan berturut-turut hingga September 2024 menjadi pertanda menurunnya daya beli masyarakat, khususnya kelas menengah.

Volatilitas daya beli ini juga menjadi perhatian besar pemerintah dan pelaku ekonomi karena mempunyai efek berantai dan dapat menghambat laju pertumbuhan ekonomi.

Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Mohammad Faisal mengatakan, inflasi bulan-bulan hanya terjadi saat terjadi krisis atau kondisi perekonomian sedang tidak baik.

Inflasi berbulan-bulan yang terus berlanjut tidak sebanding dengan angka pertumbuhan ekonomi Indonesia yang masih di atas 5%.

“Inflasi lima bulan berturut-turut menurut saya mengkhawatirkan, karena dalam keadaan normal hal tersebut tidak akan terjadi di negara dengan tingkat pertumbuhan seperti Indonesia sebesar 5%,” kata Faisal berbicara kepada Bisnis, Selasa (1/10/2024).

Ia menjelaskan, inflasi sebenarnya terjadi karena lemahnya tingkat permintaan. Dalam situasi di Indonesia saat ini, ia menilai pendapatan masyarakat sedang melemah.

Menurut dia, pendapatan masyarakat saat ini lebih rendah dibandingkan sebelum pandemi. Selain itu, banyak orang yang tidak bisa kembali bekerja setelah terkena PHK selama pandemi.

“Hal ini berdampak pada tingkat belanja mereka yang sedemikian rupa sehingga lemahnya belanja, terutama bagi masyarakat menengah ke bawah,” jelas Faisal.

Efek Rantai

Inflasi dan lemahnya daya beli juga berbahaya karena berdampak pada sektor lain seperti perbankan, khususnya penyaluran kredit. Menurunnya daya beli seseorang menyebabkan permintaan terhadap kredit menurun, baik untuk konsumsi maupun investasi.

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abdul Manap Pulungan mengatakan inflasi akan berdampak tidak langsung terhadap kinerja bisnis perbankan. Dia mengatakan, deflasi berdampak pada permintaan kredit.

Soal permintaan kredit, jika terjadi inflasi berarti daya belinya rendah. Jadi kalau daya belinya rendah berarti masyarakat mengurangi konsumsinya, ujarnya kepada Bisnis, Senin (7/10/2021). 2024). 

Di sisi lain, dia juga mengatakan penurunan pendapatan bisa menjadi risiko besar bagi perbankan karena bisa menyebabkan peningkatan kredit bermasalah (NPL). 

Namun, kata Abdul, jika melihat kasusnya, di mana inflasi terjadi karena masyarakat mengerem belanja, di sisi lain keadaan tersebut dapat meningkatkan kemampuan mencicil.

Artinya harus dilihat dua pandangan, pandangan besar dan pandangan masing-masing individu. Tapi saya lebih suka melihat dari sudut pandang besar, bahwa inflasi disebabkan oleh menurunnya daya beli masyarakat. tidak punya uang untuk membeli. katanya. 

Sementara itu, Senior Research Associate IFG Progress Ibrahim Khoilul Rohman dalam risetnya memperkirakan penurunan daya beli masyarakat kelas menengah sebesar 4%-5% akan berdampak negatif pada berbagai variabel perekonomian di Indonesia yang akan berdampak buruk pada perekonomian. lini bisnis asuransi.

“Jadi penurunan daya beli masyarakat kelas menengah sebesar 4%-5% ternyata berdampak lebih besar pada asuransi umum dibandingkan asuransi jiwa,” kata Ibrahim dalam Konferensi Pers IFG 2024 di Jakarta, Selasa (15/10). . /2024).

Menurut perhitungannya, penurunan daya beli masyarakat kelas menengah sebesar 4% – 5% akan berdampak negatif sebesar 39% – 49% terhadap penyaluran Kredit Pemilikan Rumah (KPR), sehingga berdampak pada penurunan secara keseluruhan. 5% – 6% untuk asuransi properti.

Penurunan daya beli juga berdampak pada penjualan mobil sebesar 65%-81%, dan asuransi mobil sebesar 6%-7%. Dampak lainnya adalah 2%-3% bagi masyarakat yang tinggal di perkotaan, berdampak 12%-15% terhadap asuransi kecelakaan diri.

Terakhir, penurunan daya beli masyarakat kelas menengah sebesar 4%-5% juga berdampak pada penyaluran Kredit Usaha Rakyat (KUR) sebesar 8%-10% yang berdampak pada utang sebesar 15%-19%. asuransi.

Di sisi lain, terjadi peningkatan perolehan dana layanan Buy Now Pay Later atau paylater dari perusahaan keuangan di saat daya beli masyarakat sedang menurun.

Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat pada Juni hingga Agustus 2024, penerimaan keuangan BNPL dari lembaga keuangan konsisten mencatat pertumbuhan dua digit. Masing-masing tumbuh 47,81% (year-on-year/YoY) menjadi Rp7,24 triliun, lalu tumbuh 73,55% (YoY) menjadi Rp7,81 triliun, lalu tumbuh 89,20% (YoY) menjadi Rp7,99 triliun.

Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda khawatir hal ini akan menjadi bom waktu terkait batas aman kredit macet atau non-performing financing (NPF).

Meski demikian, NPF masih jauh di bawah batas sesuai aturan OJK. Total NPF perusahaan pembiayaan BNPL Juni-Agustus 2024 masing-masing sebesar 3,07%, 2,82%, dan membaik menjadi 2,52%.

Namun ada kemungkinan dalam beberapa bulan ke depan besaran NPF akan bertambah seiring dengan habisnya tabungan nasabah. Jika tidak ada uang untuk membayar angsuran, yang terjadi adalah pembayaran angsuran macet. masa depan,” ujarnya. Huda kepada Bisnis, Kamis (10/10/2024). 

Simak berita dan artikel lainnya di Google News dan WA Channel

By admin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *