Bisnis.com, Jakarta – Presiden Prabowo Subianto dan Kabinet Merah Putih harus bertindak cepat dengan mengerjakan pekerjaan rumah dan memenuhi janji kampanye.

Salah satu janji kampanyenya adalah mengupayakan pertumbuhan ekonomi sebesar 8% untuk membawa Indonesia keluar dari kategori berpendapatan menengah. Namun, tujuan pembangunan ekonomi tersebut tidaklah mudah. 

Bahkan tugas mencapai pertumbuhan ekonomi menjadi pertaruhan tim ‘jumbo’ kabinet Merah Putih. Selain itu, ada pula menteri yang bukan berasal dari kalangan profesional, melainkan dari partai politik.

Dari 48 menteri yang dilantik Prabowo, 24 di antaranya berasal dari partai politik. Dari 56 Wakil Menteri, 18 diantaranya berasal dari partai politik

Berdasarkan struktur partai, Golkar merupakan partai yang memiliki menteri terbanyak di kabinet Merah Putih. Sedangkan Partai Gerindra mendapat 5 kursi menteri di kabinet Merah Putih.

Gerindra mendapat 6 kursi wakil menteri, sedangkan Golkar mendapat 3 kursi. Secara keseluruhan, Golkar dan Gerindra mendapat kursi setara.

Partai pendukung Prabowo-Gibran lainnya juga mendapat kursi, antara lain Partai Demokrat dan PAN yang masing-masing mendapat 4 kursi untuk menteri dan pembantunya.

PKS dan PKB, dua parpol non-Prabovo-Gibran, juga mendapat kursi menteri di Kabinet Merah Putih.

Tantangan pembangunan ekonomi

Perlu diperhatikan perbandingan menteri antara partai politik dan pengusaha, apalagi mengingat ekspektasi pertumbuhan ekonomi sebesar 8 persen sangat ambisius dan sulit dicapai.

Selain itu, banyaknya kementerian di pemerintahan Prabowo menarik perhatian Ekonom Teuku Rifki dari LPEM FEB Universitas Indonesia yang mewaspadai kemungkinan konflik antara kementerian dan kementerian lainnya.

“Ini bisa berdampak negatif terhadap perekonomian,” kata Rifqi kepada Bisnis, Senin (21/10/2024).

Menurutnya, banyak hal yang harus diprioritaskan oleh pemerintahan Prabowo. Hal ini mencakup pengendalian daya beli, penciptaan lapangan kerja, dan perbaikan institusi.

“Setidaknya dari sudut pandang ekonomi, ada banyak hal yang harus segera ditangani oleh pemerintah mendatang,” ujarnya.

Rifki menilai, masalah tersebut harus segera diselesaikan oleh Prabowo dan jajarannya. Sebab jika tidak dimanfaatkan dengan baik maka hal ini dapat menghambat perkembangan perekonomian Indonesia, terus meruntuhkan industri, dan menurunkan daya beli masyarakat.

Sementara itu, Kamar Dagang Indonesia (Apindo) mengidentifikasi tiga tantangan ekonomi yang harus diatasi oleh pemerintahan Prabowo-Gibran dan kabinet Merah Putih.

Analis Kebijakan Ekonomi Apindo Ajib Hamdani mengatakan tantangan pertama yang harus dihadapi adalah situasi keuangan yang sedang berada dalam tekanan.

Belanja APBN tahun 2025 diperkirakan sebesar Rp3.613,1 triliun dan penerimaan negara diperkirakan sebesar Rp3.005,1 triliun. Artinya, potensi defisit sebesar Rp 600 triliun di atas akan menambah utang negara. Termasuk masalah fiskal berupa pembayaran utang sekitar Rp 800 triliun pada tahun 2025, ujarnya. 

Hal itu diungkapkan Ajib dalam keterangannya, Minggu (20/10/2024) “Atas permasalahan anggaran yang sedang dihadapi, diharapkan ada solusi yang baik di kementerian Kementerian Keuangan.”

Menurut Ajib, tantangan lainnya adalah masih tingginya angka pengangguran. Statistik tahun 2024 menunjukkan tingkat pengangguran sebesar 5,2%.

Ia menjelaskan, investasi yang selalu melebihi target dalam 5 tahun terakhir tidak bisa menjadi langkah besar yang bisa menyerap lebih banyak tenaga kerja. Ajib menilai ada kesimpangsiuran, seiring dengan meningkatnya kasus Akhir Pekerjaan (PHK) dan angka peningkatan produktivitas (ICOR) yang terus meningkat. 

Menurut dia, hal ini berarti investasi telah mengurangi kontribusinya terhadap pertumbuhan ekonomi.

Permasalahan ketiga yang akan diselesaikan oleh pemerintahan Prabowo Subianto adalah kemiskinan. Ajib mengatakan pemerintah harus mendorong kebijakan yang menjamin kesetaraan dan mengurangi penderitaan kemiskinan. 

Tercatat, rapor 5 tahun terakhir tim perekonomian pemerintahan Jokowi mampu membawa perekonomian Indonesia rata-rata tumbuh sebesar 4,2%. Dalam 10 tahun pertumbuhan ekonomi Indonesia belum mencapai 5,5% apalagi 7%. Puncaknya hanya 5,3 persen dan komoditas berkontribusi terhadap hal tersebut. Ketika harga komoditas turun, perekonomian Indonesia pulih ke level 5%.

Simak berita dan artikel lainnya di Google News dan WA channel

By admin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *