Kesehatan Mental Kerap Diabaikan di Lingkungan Kerja, Ini Solusinya

Bisnis.com, Jakarta – Kementerian Kesehatan (Keminiks) memberikan perhatian terhadap masalah kesehatan mental yang masih terabaikan di lingkungan kerja.

Pospita Teri Yutami atas nama Direktorat Jenderal Departemen Kesehatan Jiwa Kementerian Kesehatan Masyarakat mengatakan, kesehatan jiwa mempunyai dampak yang signifikan terhadap produktivitas, hubungan sosial, dan kualitas hidup seseorang. Namun kesehatan mental terkadang diabaikan dan dianggap remeh.

Dalam sambutannya pada acara “Meningkatkan Kesadaran” tentang “Risiko Kesehatan Mental di Lingkungan Kerja” pada Jumat (25/25), Pospita mengatakan, “Jika kesadaran untuk mengurangi risiko kesehatan mental semakin meningkat, saya yakin Indonesia Emas 2045 akan semakin meningkat. visi akan terwujud.” katanya. Ujarnya dalam diskusi bertajuk. 10/2024).

Menurut data Organisasi Kesehatan Dunia tahun 2019, diperkirakan 15% orang dewasa usia kerja mengalami gangguan mental. Secara global, diperkirakan 12 miliar hari kerja hilang di seluruh dunia setiap tahunnya karena depresi dan kecemasan, yang mengakibatkan hilangnya produktivitas hingga $1 triliun setiap tahunnya.

Dimas Silendra, Direktur Asosiasi Sadar Risiko Indonesia (Masindo), menilai masalah kesehatan mental seperti kecemasan, depresi, dan stres berisiko besar menghambat produktivitas masyarakat Indonesia.

“Pendekatan komprehensif untuk mengurangi risiko diperlukan, termasuk intervensi kebijakan, pendidikan, dan dukungan psikologis,” kata Dimas. katanya.

Sementara itu, pakar kesehatan masyarakat dan pakar kesehatan dan keselamatan kerja (K3) Filsuf Fatria menekankan pentingnya mengidentifikasi dan mengelola faktor risiko yang menyebabkan gangguan psikologis di tempat kerja, seperti stres kerja, ketidakjelasan peran, dan ketidakhadiran. Dukungan manajemen.

“Perusahaan harus proaktif dalam mendukung kesejahteraan mental karyawan melalui akses terhadap layanan kesehatan mental dan pelatihan kesadaran risiko serta pengurangan risiko terkait,” ujarnya.

Sementara itu, Psikolog Sukmayanti Rafisukmavan mengatakan, salah satu kebiasaan berbahaya yang timbul akibat stres dan ketegangan di lingkungan kerja dapat dikelola dengan pendekatan Cognitive Behavioral Change (CBM).

Menurutnya, sebaiknya ada upaya untuk mengurangi kebiasaan berbahaya tersebut, bukan menghentikannya secara tiba-tiba. Pengurangan bertahap (desensitisasi) terhadap kebiasaan-kebiasaan berbahaya akibat stres kerja dapat dijadikan solusi.

“Tentu saja kalau berdiri tegak tidak ada masalah,” ujarnya.

Oleh karena itu, perokok yang sulit berhenti beralih ke terapi penggantian nikotin yang menerapkan konsep pengurangan risiko, dan produk pengganti tembakau seperti rokok elektrik, produk tembakau evaporasi, dan patch nikotin, sambil tetap berkonsultasi dengan dokter spesialis. psikolog.

Lihat berita dan artikel lainnya di Google News dan WA Channel

By admin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *