Kelas Menengah Merana, Prabowo Diminta Percepat Transfer Teknologi & Ilmu dari Luar

Bisnis.com, Jakarta – Peneliti Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Sosial Universitas Indonesia (LPEM UI) Jahen Fachrul Rezki menilai percepatan transfer teknologi dan pengetahuan dari luar negeri menjadi salah satu kunci untuk mengembangkan kembali kelas menengah di Indonesia

Jain menjelaskan, dalam beberapa tahun terakhir, jutaan masyarakat kelas menengah telah bermigrasi dari ‘kasta’. Daya beli masyarakat kelas menengah pun menurun sehingga mereka terus melakukan penghematan.

Ia yakin pandemi ini hanya berdampak kecil terhadap menyusutnya kelas menengah. Namun ada hal yang lebih mendasar yaitu dalam 10 tahun terakhir perekonomian Indonesia telah bergerak pesat ke sektor jasa.

Masalahnya, lanjut Jahen, perubahan itu terjadi ketika manajemen di Indonesia seperti manufaktur, industri belum terbentuk. Akibatnya, porsi sektor industri terhadap pendapatan nasional terus menurun: dari sekitar 25 persen pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudovino (SBY) menjadi 19 persen pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Jadi dukungan ke sektor manufaktur kurang. Walaupun lapangan kerja di sektor manufaktur banyak, ya, banyak orang yang bisa dipekerjakan di sektor tersebut, kata Jahen dalam konferensi Indonesia Industry Outlook 2025 di Wisma Bisnis Indonesia. , Jakarta Pusat, Rabu (23/10/2024).

Selain itu, ia menjelaskan pemerintah terkesan kurang memberikan kebijakan positif bagi masyarakat kelas menengah di era Jokowi. Pemerintah hanya memberikan insentif bagi masyarakat kelas bawah seperti bantuan sosial dan pembebasan pajak bagi masyarakat kelas atas.

Oleh karena itu, Jahen memandang dalam jangka pendek, pemerintahan Presiden Prabowo Subianto harus mempercepat transfer teknologi dan pengetahuan dari Indonesia. Menurutnya, dalam beberapa tahun terakhir sepertinya belum ada peningkatan produktivitas tenaga kerja Indonesia.

Jadi dibandingkan negara lain seperti Vietnam, bahkan seperti Malaysia dan lainnya, kita belum mampu memproduksi lebih banyak produk. Apa dampaknya? Investor pasti akan mencari negara yang bisa menghasilkan lebih banyak produk dengan input yang sama, ujarnya.

Ia juga menekankan pentingnya kebijakan ekonomi yang lebih inklusif untuk memperbaiki dan bahkan meningkatkan taraf hidup kelas menengah.

Jahan mencontohkan, pemerintah perlu memastikan sektor-sektor yang nilainya ditingkatkan, yaitu peningkatan nilai, mempunyai kemampuan menyerap tenaga kerja lebih banyak.

“Mungkin kita perlu transfer teknologi, transfer ilmu [pengetahuan] lebih cepat, sehingga nantinya produktivitas sektor industri lebih besar, lebih banyak orang yang bisa bekerja, dan muncul upah lebih banyak,” jelasnya.

Orang bijak di bawah kelas menengah

Sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkapkan, sekitar 9,4 juta penduduk kelas menengah berpindah dari middle class ke apiring middle class, yakni middle class, pada tahun 2019 hingga 2024.

Angka pengurangan tersebut disampaikan Plt Kepala BPS Amalia Edinanggar Widyasanti dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR di Kompleks Parlemen Senyan, Jakarta Pusat, Rabu (28/8/2024).

Menurut definisi Amalia, kelas menengah adalah penduduk yang konsumsi per kapitanya 3,5-17 kali garis kemiskinan. Dalam konteks Indonesia pada tahun 2024, mereka yang termasuk dalam kelas menengah adalah penduduk yang memiliki pengeluaran antara Rp2.040.262-9.909.844 per bulan.

Ia mengatakan pada tahun 2019 terdapat 57,33 juta masyarakat kelas menengah atau setara dengan 21,45 persen dari seluruh masyarakat Indonesia. Kini pada tahun 2024, jumlah kelas menengah akan berjumlah 47,85 juta jiwa atau 17,13% dari total penduduk Indonesia.

Pada periode tersebut, jumlah dan persentase kelompok rentan meningkat (dari 54,97 juta menjadi 67,69 juta atau dari 20,56% menjadi 24,23%) dan kelas menengah (dari 128,85 juta menjadi 137 juta, dari 50 juta atau dari 48,2% menjadi 29,22). %).

Artinya, 9,4 juta masyarakat kelas menengah yang hilang selama 2019-2024 mengalami penurunan kelas, bukan pertumbuhan kelas. Amalia memperkirakan pandemi Covid-19 pada tahun 2020 menjadi penyebab utama menurunnya jutaan masyarakat kelas menengah.

“Kami jelaskan bahwa ketahanan masyarakat kelas menengah masih sangat terdampak oleh pandemi Covid-19,” jelasnya dalam konferensi tersebut.

Menurunnya daya beli masyarakat kelas menengah

Sementara itu, survei terbaru dari Investure bertajuk Indonesia Industry Outlook 2025 menunjukkan 49% masyarakat kelas menengah setuju mengalami penurunan daya beli.

Ketua Pendiri Indonesia Industry Outlook menjelaskan, studi menunjukkan bahwa tiga penyebab utama menurunnya daya beli masyarakat kelas menengah adalah kenaikan biaya kebutuhan pokok (85%), tingginya biaya pendidikan dan kesehatan ( 52%) . dan pendapatan stabil (45%).

“Saya kira angka itu tinggi sekali, 49%, daya beli [kelas menengah] menurun,” kata Yosuhadi dalam konferensi pers online, Rabu (23/10/2024).

Dalam hal ini, kelas menengah harus mengurangi banyak item konsumsi dalam anggaran mereka. Survei menunjukkan bahwa tiga item konsumsi yang paling banyak dibelanjakan oleh kelas menengah adalah produk perawatan kulit (SK-II, Laneige, dll), renovasi rumah dan pembelian furnitur baru, serta penggunaan keanggotaan atau langganan (gym, Netflix , Spotify, dll.).

Tak hanya itu, survei tersebut juga menanyakan rencana masa depan yang harus ditunda oleh kelas menengah di tengah minimnya data pembelian. Oleh karena itu, tiga pengeluaran yang paling sering ditunda adalah pembelian mobil (70%), pembelian atau renovasi rumah (68%), dan investasi atau tabungan non-darurat (56%).

Sebagai informasi, survei ini dilakukan terhadap 450 responden termasuk generasi milenial kelas menengah dan Gen Z dengan metode wawancara tatap muka pada September 2024. Survei dilakukan di lima kota besar yakni Jabudtabek, Semarang, Surabaya, Medan . dan Makasar.

Lihat berita dan artikel lainnya di Google News dan WA Channel

By admin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *