Bisnis.com, JAKARTA – Pada Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia (RDG-BI) yang digelar 16 Oktober 2024, Bank Indonesia (BI) mempertahankan suku bunga acuan (BI) pada level 6,00%.
Keputusan ini menunjukkan penekanan BI pada stabilitas perekonomian (pro-stabilitas), meskipun pada RDG sebelumnya pada 18 September, BI menurunkan suku bunga sebesar 25 basis poin (bps) untuk mendorong pertumbuhan ekonomi (pro-growth).
Penurunan tersebut merupakan respons terhadap penurunan tekanan inflasi global, serta kebijakan countercyclical untuk melawan risiko perlambatan pertumbuhan ekonomi global.
Salah satu ukuran penting di balik keputusan ini adalah perkiraan penurunan pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat (AS) pada tahun 2024 sebesar 0,1% yang dipublikasikan dalam risalah Proyeksi Ekonomi Fed dan Komite Pasar Terbuka Federal (FOMC). Pertemuan bulan lalu.
Keputusan BI untuk mempertahankan suku bunga acuan juga mencerminkan kehati-hatian BI dalam menyikapi kebijakan The Fed yang memangkas suku bunga acuan sebesar 50 basis poin menjadi 5,00% pada bulan September. Dengan demikian, gap suku bunga BI dan suku bunga The Fed kini tetap di angka 100 poin.
Kesenjangan ini diperkirakan akan tetap ada hingga pernyataan kebijakan berikutnya disampaikan pada pertemuan FOMC pada 7 November. Kesenjangan yang semakin lebar ini juga meningkatkan daya tarik instrumen keuangan di Indonesia, seperti Surat Utang Negara (SUN).
Data menunjukkan perbedaan imbal hasil antara SUN tenor 10 tahun dan AS. Obligasi pemerintah bertenor 10 tahun mencapai 280,90 barel per hari pada bulan September, menunjukkan meningkatnya minat investor terhadap aset-aset Indonesia.
Profesor Mishkin (1996) menunjukkan bahwa kebijakan moneter yang stabil yang didukung oleh cadangan devisa yang memadai cenderung menstabilkan nilai tukar.
Stabilitas ini sangat penting untuk mengurangi ketidakpastian perekonomian dalam negeri. Namun di balik upaya menjaga stabilitas tersebut, terdapat sejumlah tantangan yang perlu diatasi guna menjaga keseimbangan perekonomian domestik. Tantangan-tantangan ini menjadi semakin penting di tengah dinamika global yang terus berubah.
Salah satu tantangan terbesarnya adalah risiko apresiasi rupee yang berlebihan. Teori ekonomi klasik yang dikemukakan oleh David Ricardo menjelaskan bahwa apresiasi berlebihan terhadap suatu mata uang dapat menurunkan keunggulan komparatif suatu negara di pasar internasional.
Hal ini dapat meningkatkan biaya produksi, terutama ekspor Indonesia yang didominasi oleh bahan mentah dan produk setengah jadi seperti batu bara (16,6% dari total ekspor tahun 2023), produk logam dasar (15,7%) dan minyak sawit (8,8%). ). Ketergantungan Indonesia pada ekspor bahan mentah menimbulkan kekhawatiran bahwa kenaikan nilai tukar rupiah dapat merugikan daya saing atau keunggulan kompetitif produk-produk tersebut di pasar internasional, sebagaimana diungkapkan Michael Porter dalam The Competitive Advantage of Nations.
Sementara di sisi lain, apresiasi rupiah juga membawa manfaat dengan menekan harga barang impor yang terdiri dari bahan baku dan produk penolong. Namun situasi ini juga mempunyai sisi gelap, karena dikhawatirkan juga akan meningkatkan impor barang konsumsi dan mengancam persaingan produk sejenis dalam negeri.
Sebaliknya, jika rupee melemah tajam maka biaya impor bahan baku akan meningkat sehingga berdampak buruk pada industri dalam negeri. Selain kekhawatiran akan meningkatnya biaya pendanaan akibat penerbitan obligasi dalam bentuk obligasi internasional, lindung nilai juga jarang dilakukan oleh entitas ekonomi dalam negeri.
Hal ini menunjukkan perlunya stabilitas nilai tukar, sebagaimana dikemukakan Rudy Dornbusch dalam makalahnya tahun 1980, yang menekankan bahwa aktivitas ekonomi sehari-hari seperti produksi dan konsumsi akan mempengaruhi permintaan mata uang lokal dan sebaliknya.
Mantan gubernur Bank Israel, Jacob A. Frenkel dan profesor ekonomi Maurice Obstfeld dan Kenneth Rogoff menunjukkan bahwa ekspektasi pasar terhadap masa depan nilai tukar riil, perbedaan inflasi dan premi risiko akibat fluktuasi nilai tukar merupakan faktor kunci. yang mempengaruhi perkembangan nilai tukar.
Sikap ini sejalan dengan gagasan Peter Izard dalam bukunya Exchange Rate Economics, yang menekankan bahwa perubahan nilai tukar dapat berdampak luas terhadap harga, upah, suku bunga, dan kesejahteraan ekonomi secara umum. Dalam konteks ini, penting bagi Indonesia untuk mengelola ekspektasi pasar dengan baik guna menjaga stabilitas nilai tukar rupiah.
Gubernur Bank Indonesia Perry Varjiyo juga menekankan pentingnya memahami perubahan ekspektasi untuk menjaga stabilitas rupiah.
Ia mencontohkan, fluktuasi nilai tukar seringkali dipengaruhi oleh fluktuasi aliran modal, perilaku pelaku pasar, dan kondisi pasar global. Ketergantungan Indonesia pada dolar AS untuk perdagangan ekspor dan impor juga membuat rupiah rentan terhadap volatilitas.
Sekitar 92,1% nilai ekspor Indonesia pada Juli 2024 adalah dalam dolar AS, meskipun menurun dibandingkan 94,84% pada tahun 2022. Sementara dari sisi impor, 77,9% impor Indonesia pada Juli 2024 rata-rata juga menggunakan USD. – rata-rata 80,0% pada tahun 2023.
Ketergantungan ini membuat rupee lebih rentan terhadap fluktuasi nilai tukar yang disebabkan oleh perubahan ekspektasi perekonomian AS. Oleh karena itu, kebutuhan de-dolarisasi atau transaksi mata uang lokal (LCT), yang diperkenalkan oleh berbagai bank sentral di Asia dalam 5 tahun terakhir, sangat masuk akal untuk memperlambat pertumbuhan kawasan.
Di sisi lain, Alberto Alessina, profesor ekonomi politik Italia, dan Lawrence H. Summers, mantan Menteri Keuangan AS, juga menyebutkan bahwa stabilitas politik, kualitas institusi, dan kepemimpinan pemerintah juga berperan penting dalam membangun kepercayaan pasar.
Oleh karena itu, di tengah ketegangan di Timur Tengah, program stimulus Tiongkok yang akan segera dimulai dan pemilu AS merupakan faktor yang mempersulit stabilitas rupee. Selain itu di dalam negeri, tentunya kita juga menantikan daftar nama pemerintahan baru dan tentunya kinerja pemerintahan di bawah Presiden Prabowo.
Hal ini seiring dengan kemungkinan kembalinya Sri Mulyani sebagai Menteri Keuangan untuk menjaga stabilitas fiskal di masa depan.
Selain itu, inisiatif pembentukan Central Counterparty (CCP) yang dilakukan oleh Bank Indonesia, Bursa Efek Indonesia (BEI), Badan Kliring dan Penjaminan Indonesia (KPEI) dan delapan bank besar di Indonesia patut dievaluasi.
Pembentukan Partai Komunis Tiongkok diharapkan dapat membantu menstabilkan rupee dengan memperdalam pasar keuangan domestik dan mengurangi ketergantungan pada aliran modal jangka pendek. Dengan menyediakan layanan kliring dan penyelesaian yang lebih efisien, CCP dapat meningkatkan likuiditas pasar dan menarik lebih banyak investor asing untuk berinvestasi di Indonesia.
Keberadaan CCP diharapkan dapat menciptakan alat investasi baru yang memungkinkan investor mengelola portofolionya dengan lebih baik.
Dengan demikian, Partai Komunis Tiongkok dapat menjadi alat penting untuk menjaga stabilitas rupee dalam menghadapi guncangan ekonomi global yang tidak terduga. Namun tantangan menjaga stabilitas rupee merupakan tantangan kompleks yang memerlukan kerja sama dan upaya bersama dari berbagai aktor.
Selain pembentukan Partai Komunis Tiongkok, juga diperlukan langkah-langkah lain seperti penguatan sektor industri, peningkatan inovasi, dan mengarahkan aliran modal asing.
Keberhasilan upaya ini sangat bergantung pada kerja sama yang erat antara pemerintah, Bank Indonesia, dan sektor swasta. Melalui kerja sama yang solid diharapkan tantangan menjaga stabilitas rupiah dapat teratasi dan stabilitas perekonomian Indonesia tetap terjaga untuk kepentingan masyarakat.
Jadi tantangan menjaga stabilitas rupee melibatkan semua pihak. Sebagai mata uang yang menjadi simbol kekuatan perekonomian suatu bangsa, rupiah harus dikelola secara bijak agar dapat memberikan hasil terbaik dan menopang perekonomian Indonesia. Dengan kebijakan yang tepat dan kerja sama yang efektif, stabilitas rupee dapat dicapai secara berkelanjutan.
Simak berita dan artikel lainnya di Google News dan WA Channel