Bisnis.com, JAKARTA – Hampir tiga dekade Indonesia terjebak dalam kategori negara berpendapatan menengah atau sering disebut middle income trap.
Data BPS hingga akhir Agustus 2024 menunjukkan dominasi penduduk kelas menengah dan kelas menengah mencapai 66,35 persen dari total penduduk Indonesia.
Tantangan utamanya adalah pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan. Selama 20 tahun terakhir, Indonesia belum pernah mencapai pertumbuhan ekonomi sebesar 7 persen per tahun. Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang rata-rata sebesar 4,7 persen menjadi tantangan untuk mewujudkan visi Indonesia emas pada tahun 2045. Indonesia membutuhkan pendapatan nasional bruto (PNB) per kapita untuk melonjak dari US$4.806 pada tahun 2023 menjadi US$26.200 pada tahun 2045.
Situasi ini tidak lepas dari tantangan struktural yang ditandai dengan produktivitas yang stagnan, rendahnya inovasi, dan tata kelola yang perlu ditingkatkan. Pemerintah berupaya meningkatkan produktivitas melalui berbagai peraturan dan penyederhanaan prosedur. Studi Bank Dunia (2023) menyatakan bahwa peningkatan produktivitas tenaga kerja di Indonesia akan terhenti pada tahun 2023. Faktor utamanya diyakini adalah krisis Covid-19. Produktivitas tenaga kerja turun dari $7.530 per pekerja pada tahun 2015 menjadi $5.336 per pekerja pada tahun 2023.
Sebuah studi Bank Dunia menyatakan bahwa ada tiga hambatan utama dalam meningkatkan produktivitas (important constraints on productivity). Pertama, akses terhadap sumber daya finansial (modal investasi). Kedua, korupsi. Ketiga, peraturan dunia usaha terutama berkaitan dengan waktu yang harus dihabiskan oleh dunia usaha untuk mematuhi ketentuan peraturan. Dalam konteks ini, transformasi digital hadir sebagai pendukung strategis dalam upaya peningkatan produktivitas. Tak hanya itu, kehadiran transformasi digital juga mendorong inovasi, perbaikan tata kelola, dan menciptakan berbagai peluang ekonomi baru (transformasi sebagai Strategic Enabler).
Modalitas Indonesia dalam Transformasi Digital
Berbagai statistik menunjukkan bahwa transformasi digital dan dukungan teknologi kecerdasan buatan (AI) dapat menjadi solusi dalam upaya negara keluar dari situasi tersebut di atas. Transformasi digital dan penggunaan kecerdasan buatan diperkirakan akan berkontribusi terhadap peningkatan sekitar 14 persen PDB pada tahun 2030 (OECD, 2017). Forum Ekonomi Dunia (WEF) mengatakan bahwa pada tahun 2025, hingga 97 juta lapangan kerja baru akan dihasilkan dari kolaborasi manusia, mesin, dan algoritma. Penggunaan kecerdasan buatan di Indonesia diperkirakan akan berkontribusi terhadap peningkatan sekitar 12 persen PDB atau $366 miliar pada tahun 2030. Selain menjadi solusi untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang signifikan dan berkelanjutan, transformasi digital juga menjadi salah satu cara untuk mempercepat upaya penyelarasan perekonomian negara-negara maju (negara-negara berpendapatan tinggi).
Dalam konteks pelayanan publik, transformasi digital menjadi prasyarat utama untuk mewujudkan pelayanan publik yang lebih efisien dan berkualitas, mampu beradaptasi terhadap disrupsi teknologi, dan meningkatkan partisipasi masyarakat. Indeks Kematangan GovTech (GTMI) yang diterbitkan oleh Bank Dunia memberikan gambaran tentang bagaimana lembaga pemerintah melakukan transformasi digital. Pada survei GTMI terbaru (2022), Indonesia mendapat skor 0,817, meningkat 0,70 pada tahun 2020. Posisi tersebut menunjukkan kategori GTMI Indonesia berada pada level “sangat tinggi”, yaitu peringkat 41 dari 198 negara.
Statistik AI Readiness Index Oxford Insight mencatat rata-rata posisi Indonesia berada di peringkat 42 dari 193 negara dengan skor 61,03. Dalam Global AI Ranking Index, skor talenta Indonesia berada di peringkat ke-23, dibandingkan Tiongkok dan Taiwan di peringkat ke-20 dan ke-30.
Tantangan transformasi digital
Namun, masih ada beberapa tanggung jawab yang harus diselesaikan oleh lembaga pemerintah. Pergerakan transformasi digital di Indonesia dapat ditelusuri sejak lahirnya Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2003 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pembangunan E-Government. Perkembangan konsep e-Government disambut dengan “euforia” oleh instansi pemerintah untuk menciptakan layanan publik digital. Sayangnya, euforia tersebut belum mampu melahirkan transformasi digital yang menciptakan pelayanan publik bercirikan citizen centric, yaitu berorientasi pada kepraktisan dan percepatan pelayanan.
Hasil kajian yang dilakukan Dewan Nasional Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) pada tahun 2016 menunjukkan total belanja pemerintah untuk TIK untuk perangkat lunak (aplikasi) dan perangkat keras selama tahun 2014-2016 mencapai sekitar Rp 12,7 triliun. Studi ini juga menemukan bahwa 65 persen pengeluaran perangkat lunak (aplikasi), termasuk lisensi, digunakan untuk membuat aplikasi serupa di seluruh lembaga pemerintah. Hasil survei Kementerian Komunikasi dan Informatika tahun 2018 mencatat terdapat 2.700 pusat data yang tersebar di 630 instansi pemerintah pusat dan daerah. Artinya rata-rata terdapat 4 pusat data di setiap instansi pemerintah. Pada e-Government System Summit (EPBE) Mei 2024, Presiden RI Joko Widodo juga menyatakan terdapat sekitar 27.000 aplikasi milik kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah yang tidak terintegrasi dan saling tumpang tindih.
Upaya pemerintah dalam mengintegrasikan transformasi digital pelayanan publik telah dilakukan melalui proses yang panjang. Digitalisasi pelayanan publik yang awalnya hadir dalam rangka persaingan aplikasi digital di berbagai instansi pemerintah, perlahan-lahan semakin disempurnakan. Terdapat reformasi tetap dan birokrasi nomor 5 tahun 2018 tentang pedoman evaluasi SPBE untuk mengukur tingkat kematangan instansi pemerintah. Melalui Peraturan Presiden Nomor 95 Tahun 2018 tentang Sistem Pemerintahan Elektronik, pemerintah membentuk tim SPBE yang bertugas menyelaraskan kerangka peraturan terkait e-Government, mengawasi tim teknis di seluruh tingkat pemerintahan, memantau program e-Government, dan mendorong terwujudnya pemerintahan elektronik. . literasi pemerintah.
Dengan demikian, berbagai tantangan serta keterbatasan sumber daya dan tata kelola membuat fokus tim SPBE cenderung bersifat regulasi. Pengembangan aplikasi pendukung fungsi pelayanan di kementerian dan lembaga masih dilakukan secara “silo”, dengan kecenderungan kurang koordinasi dan kerjasama. Melalui Perpres Nomor 82 Tahun 2023 untuk mempercepat transformasi digital dan integrasi layanan digital nasional, pemerintah menekankan pentingnya integrasi dan interoperabilitas untuk mendorong pertukaran data dan memecah silo. Integrasi berbagai layanan digital pemerintah ke dalam portal layanan publik nasional merupakan cerminan transformasi digital infrastruktur publik digital secara keseluruhan.
Elemen transformasi digital yang sukses
Keberhasilan transformasi digital tidak lepas dari perpaduan tiga elemen penting dalam Infrastruktur Publik Digital (DPI), yang meliputi identifikasi digital, pembayaran digital, dan sistem berbagi data. Kombinasi ketiga elemen tersebut menjadi prasyarat percepatan transformasi digital yang mendukung kelancaran interaksi antara masyarakat, pelaku usaha, dan pemerintah. Identifikasi digital memastikan seluruh masyarakat memiliki akses terhadap layanan publik, sehingga menciptakan inklusi sosial dan pertumbuhan yang adil. Pembayaran digital dapat mengurangi biaya dan waktu layanan transaksi keuangan serta memastikan bahwa pengguna menerima berbagai program sosial dan subsidi pemerintah yang sesuai. Sementara itu, Pertukaran Data mendukung penyelenggaraan pelayanan publik yang transparan, sederhana dan kaya sebagai efek interoperabilitas antar sistem pelayanan publik.
Dengan menerapkan ketiga elemen SDGs tersebut, beberapa negara telah berhasil mempercepat pembangunan dan kesejahteraan sosial. Di India misalnya, berhasil mempercepat pencapaian proyeksi pertumbuhan ekonomi dari rencana 47 tahun menjadi 7 tahun. Estonia berhasil mencapai pertumbuhan PDB per kapita sepuluh kali lipat dalam 20 tahun. Sementara itu, Tiongkok telah berhasil mengurangi kemiskinan eksponensial dari 5,7 persen menjadi 0,6 persen dalam jangka waktu lima tahun melalui program inklusi keuangan digital. Belajar dari perjalanan transformasi digital sebelumnya, penguatan integrasi dan interoperabilitas DPI tidak hanya terletak pada infrastruktur teknologi modern. Kuncinya adalah bagaimana masing-masing pihak mengedepankan koordinasi dan kolaborasi untuk mewujudkan layanan digital terintegrasi.
Untuk mengawasi transformasi digital, diperlukan kepemimpinan yang kuat dari kantor manajemen proyek (PMO) SPBE dalam mendorong orkestrasi integrasi layanan di seluruh instansi pemerintah. Dari aspek kelembagaan, Indonesia National Single Window (INSW) dapat menjadi model bagaimana interoperabilitas dan kerjasama antar lembaga pemerintah dapat dicapai dalam integrasi sistem nasional. Melalui amanat Presiden yang tertuang dalam Perpres Nomor 44 Tahun 2018, National Single Window Institute (LNSW) mengatur penyelarasan kebijakan dan sinkronisasi proses bisnis antar instansi pemerintah dalam rangka efisiensi pelayanan publik di sektor ekspor/impor. Melalui satu penyampaian dan pengolahan data dan informasi, serta pengambilan satu keputusan pemberian bea cukai dan pengeluaran barang, sistem INSW menciptakan satu sumber kebenaran yang berdampak nyata pada efisiensi pelayanan publik.
Pada akhirnya, transformasi digital yang disertai dengan penguatan regulasi, kepemimpinan, dan institusi akan mencapai tujuan ekonomi dan sosial yang lebih besar. Tidak hanya berdampak pada peningkatan pelayanan publik, tetapi juga mendorong pertumbuhan ekonomi menuju Indonesia Emas 2045.
Simak berita dan artikel lainnya di Google News dan WA Channel