Bisnis.com, JAKARTA – Essential Institute for Service Reform (IESR) menilai terbatasnya kapasitas investasi PT PLN (Persero) menjadi salah satu kendala utama percepatan pengembangan pembangkit listrik energi baru terbarukan (EBT).
Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa mengatakan, margin bisnis yang dapat diinvestasikan juga kecil. Menurutnya, margin usaha yang bisa diinvestasikan setiap tahunnya berkisar 2 hingga 3 miliar dolar AS.
Padahal, PT PLN punya modal 5 hingga 6 miliar dolar AS per tahun. Apalagi, karena tingkat utang PLN besar, maka ada batasan untuk menarik pinjaman baru, kata Fabby sa Bisnis, Selasa (29/10). /2024). )
Fabby menilai fakta tersebut juga menunjukkan investasi swasta saja tidak cukup untuk masuk ke proyek PLN. Padahal, dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL), investasi swasta seharusnya mencapai 60% hingga 65% dari kebutuhan investasi.
“Hal ini mungkin terjadi karena proyek-proyek yang ditawarkan PLN tidak menarik secara finansial bagi swasta dan/atau unbankable,” kata Fabi.
Ia memberikan lima rekomendasi kepada pemerintah untuk menambah dana pembangunan pembangkit listrik EBT. Pertama, memperkuat kapasitas investasi PLN dengan melakukan penyesuaian tarif listrik yang memberikan margin usaha yang wajar bagi PLN.
Kedua, pemerintah juga bisa memberikan penyertaan modal masyarakat (PMN) kepada PLN untuk pengembangan energi terbarukan. Ketiga, mekanisme lelang pembangkit energi terbarukan PLN akan diperbaiki agar lebih terjadwal dan sering.
Keempat, Keputusan Presiden No. 112/2022 dengan mempertimbangkan perkembangan terkini yaitu biaya capex Generator dan kenaikan suku bunga. Kelima, memberikan insentif kepada investor untuk mengembangkan energi terbarukan.
“Misalnya memberikan insentif fiskal dan pajak, serta menurunkan biaya untuk pembangkit energi terbarukan skala kecil di bawah 10 MW yang dibangun di wilayah timur Indonesia atau di daerah terpencil,” tambah Fabi.
Ketersediaan dana pembangunan pembangkit EBT terungkap berdasarkan hasil pemeriksaan semester (IHPS) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) I/2024. Badan tersebut mengungkapkan, ada batasan jumlah operator listrik yang dapat membiayai pembangunan pembangkit energi terbarukan.
Menurut BPK, secara umum pada semester 2021 hingga semester I/2023, realisasi dana pembangunan infrastruktur ketenagalistrikan dalam Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan (RKAP) PLN kurang dari kebutuhan dana.
BPK mencatat, hanya Rp138,2 triliun atau 60,03% dari RKAP atau 28,39% dari proyeksi investasi RUPTL yang terealisasi dari investasi yang dianggarkan sebesar Rp230,2 triliun.
Selain itu, skema pendanaan pengembangan EBT belum diterapkan secara signifikan, dan Mekanisme Transisi Energi (ETM) tidak memiliki komite pengarah untuk mendukung skema pendanaan, dan struktur tata kelola Kemitraan Transisi Energi yang Berkeadilan (JETP). Belum ditetapkan,” IHPS I-2024 mengutip laporan BPK, Senin (28/10/2024).
Berdasarkan hal tersebut, BPK merekomendasikan perbaikan segera yang dilakukan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Bahlil Lahadalia, termasuk koordinasi dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Keuangan, dan Kementerian BUMN.
Koordinasi ini akan mendorong pembentukan steering commiee skema pendanaan ETM, penyusunan struktur tata kelola JETP, identifikasi rincian skema, sumber dan pembagian porsi pendanaan.
“Juga mendorong lembaga keuangan daerah untuk membiayai pembangunan infrastruktur ketenagalistrikan dengan suku bunga yang kompetitif,” tambah BPK.
Simak berita dan artikel lainnya di Google News dan WA Channel