Bisnis.com, Jakarta – Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menilai kesiapan pembiayaan pembangunan fasilitas energi baru terbarukan (EBT) belum mencukupi, hal itu tertuang dalam Ikhtisar Hasil Ujian Semester (IHPS) I/2024 . BPK mengungkapkan adanya pembatasan bagi operator ketenagalistrikan dalam membiayai pembangunan fasilitas energi terbarukan, menurut BPK, secara umum pada tahun 2021 hingga semester I/2023, tercapainya pembiayaan yang tersedia untuk pengembangan infrastruktur ketenagalistrikan di PT PLN (Persero). Rencana bisnis dan anggaran perusahaan (RKAP) tidak memenuhi persyaratan pembiayaan. BPK mencatat, dari rencana investasi sebesar Rp230,2 triliun, baru terealisasi sebesar Rp138,2 triliun atau 60,03% dari RKAP atau 28,39% dari ekspektasi investasi. Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) “Selanjutnya, skema pembiayaan pengembangan EBT belum tercapai secara optimal, karena belum terbentuknya steering komite yang mendukung rencana pembiayaan Energy Transition Mechanism [ETM] dan belum terbentuknya struktur transisi energi yang berkeadilan terbentuk,” bunyinya dalam laporan Manajemen Kemitraan [JETP] setelahnya”. IHPS I-2024 BPK dikutip pada Senin (28 Oktober 2024). Proyek pengembangan EBT sesuai target dan potensi defisit listrik di beberapa daerah. Oleh karena itu, BPK merekomendasikan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Bahlil Lahdalia untuk segera melakukan perbaikan, termasuk berkoordinasi dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan, dan Kementerian BUMN. . Koordinasi ini bertujuan untuk mendorong terbentuknya steering commiee rencana pendanaan ETM dan penyusunan struktur tata kelola JETP yang menguraikan skema dan sumber pendanaan secara rinci. “Selain mendorong lembaga keuangan daerah agar mampu membiayai pembangunan infrastruktur ketenagalistrikan dengan suku bunga yang kompetitif,” BPK juga menemukan bahwa kebijakan di tingkat komponen lokal (LKDN) memiliki kendala besar. Dalam pengembangan pembangkit EBT, hal ini terjadi karena kapasitas produksi pembangkit energi alam dalam negeri tidak mencukupi. . Selain itu, ada pula pembiayaan proyek pembangunan pabrik EBT yang dipersulit dengan adanya permintaan TKDN yang menyebut lembaga keuangan seperti Asian Development Bank (ADB). , Bank Dunia, Badan Kerja Sama Internasional Jepang (JICA) hingga Bank Pembangunan dan Investasi Jerman, Kreditanstalt für Wiederufbau (KFW) Bankengruppe, yang menemukan kebijakan elemen TKDN tidak sesuai dengan batasan minimum yang ditetapkan masing-masing bank” menimbulkan risiko pembatalan pembiayaan dari luar negeri, tertundanya operasional komersial proyek dan pemenuhan kebutuhan listrik, serta biaya proyek menjadi jauh lebih tinggi karena penundaan dan denda, serta persyaratan jaminan negara,” tulis BPK. BPK pun merekomendasikan agar Halil segera melakukan perbaikan. Upaya tersebut antara lain berkoordinasi dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan serta Kementerian Perindustrian untuk menilai kepatuhan peraturan TKDN dan persyaratan pengadaan “sehingga kita dapat menyerap pendanaan dari luar negeri tanpa mengorbankan pengembangan industri dan EBT dalam negeri,” ujarnya. BOD.
Lihat berita dan artikel lainnya di Google News dan WA channel