Bisnis.com, Jakarta – Menteri Koordinator Perekonomian Erlanga Harterto mengumumkan investor Taiwan yang bergerak di industri tekstil berencana memindahkan pabriknya dari China ke Indonesia.
Pengumuman itu disampaikan Erlanga usai 15 investor asing yang tergabung dalam Federasi Tekstil Taiwan dan Asosiasi Pertekstilan Indonesia mengunjungi Kantor Koordinasi Kementerian Perekonomian pada Jumat (1/11/2024).
“Mereka bilang ingin berinvestasi di Indonesia karena ada juga yang berinvestasi di Indonesia di kawasan Purkarta,” ujarnya.
Rencana tersebut akan terlaksana, namun hanya jika pemerintah memenuhi syarat para pengusaha tersebut.
Pasalnya, ada 15 investor yang salah satunya adalah Perusahaan Formosa Taffeta. Ia mengajukan empat syarat sebelum memindahkan bisnisnya ke Indonesia.
Pertama, membeli tanah itu mudah. Erlanga mendorong seorang pengusaha tekstil untuk memindahkan pabriknya ke kawasan industri. Jika lahannya berada di luar kawasan tersebut, maka pengurusan izin AMDAL akan memakan waktu lama.
Kedua, energi hijau. Erlanga mengatakan pemerintah harus menyediakan lebih banyak energi ramah lingkungan karena industri tekstil memperhatikan norma-norma ESG. Untuk wilayah Jawa Barat, pemerintah memiliki beragam sumber energi ramah lingkungan mulai dari tenaga air, tenaga surya terapung, dan gas.
Ketiga, pengusaha meminta pemerintah Indonesia memberikan harga gas yang lebih baik dan lebih murah.
“Dulu mereka mengeluh kalau ada harga gas yang terlalu tinggi, di atas US$12 per MMBTU. Saya bilang rata-rata harganya US$9 per MMBTU. Jadi kalau di atas itu, mereka harus serahkan ke pemerintah. Jadi pemerintah akan memanggil PGN,” ujarnya.
Keempat, terkait pasar ekspor Indonesia. Erlanga mengatakan, pengusaha tersebut sejauh ini mendapat manfaat dari investasinya di Tiongkok dan Vietnam.
Sedangkan Vietnam memiliki keunggulan dalam mengekspor ke Eropa karena memiliki Free Trade Agreement (FTA).
Indonesia saat ini sedang memperjuangkan Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia-Uni Eropa (IEU-CEPA) dan Perjanjian Komprehensif dan Progresif untuk Kemitraan Trans-Pasifik (CPTPP).
“Dengan adanya IEU-CEPA dan CPTPP, pasar sudah terbuka dengan biaya masuk nol. Sedangkan Indonesia dan Eropa masih di angka 16%-20%,” lanjutnya.
Bahkan, menurut Erlang, para investor tersebut pun tidak akan bisa memindahkan pabriknya dari Vietnam ke Indonesia jika ada serangkaian perjanjian di Indonesia.
Diketahui sejumlah pabrikan besar telah mendirikan pabriknya di Vietnam. Meskipun banyak negara mengalami kontraksi dalam Indeks Manajer Pembelian (PMI) manufaktur, Vietnam terus mengalami percepatan.
“Jadi itu pekerjaan rumah yang perlu diselesaikan,” kata Erlanga.
Meski demikian, Erlanga menegaskan para investor tersebut berwawasan ke depan dan berorientasi ekspor.
Simak berita dan artikel lainnya di Google News dan WA