Industri Tekstil 'Sakit', Kebijakan Tak Sinkron Ditengarai jadi Biang Keladi

Bisnis.com, JAKARTA – Bangkrutnya PT Sri Rejeki Isman Tbk. (SRIL) atau Sritex menambah daftar bukti bahwa industri TPT Indonesia sedang menghadapi permasalahan serius. 

Direktur Jenderal Center for Economic Reform (CORE), Muhammad Faisal mengatakan, permasalahan ini sudah ada bertahun-tahun dan belum terselesaikan karena kurang harmonisnya kebijakan yang ditetapkan pemerintah. 

“Banyak kebijakan pengadaan bahan baku yang tidak sinkron. Misalnya kita impor bahan mentah, tarifnya lebih mahal dibandingkan impor bahan jadi,” ujarnya kepada Businessis, Rabu (30/10/2024). 

Terkait pasar internal, banyak terjadi desinkronisasi yang justru menggerogoti pasar internal, termasuk persoalan pengawasan impor legal dan ilegal.

Alhasil, permasalahannya adalah industri TPT tidak hanya harus bersaing dengan produk impor yang legal, tapi juga ilegal. 

Faisal memperkirakan pasca-Covid-19, industri TPT menghadapi berbagai permasalahan, mulai dari biaya produksi hingga tuntutan kenaikan upah yang terus meningkat setiap tahunnya. 

“Dilanda wabah ini membuat industri TPT semakin sulit bertahan, bahkan menyerang industri yang sudah lama berdiri,” jelasnya. 

Lebih lanjut Faisal menjelaskan, beberapa kebijakan yang dikeluarkan di industri TPT seperti Taty Pengamanan Impor, namun bersifat darurat atau hanya bersifat sementara, meski sudah ada langkah nyata. 

Sedangkan dalam jangka menengah, tindakan darurat ini mempunyai batas waktu, meskipun dapat diperpanjang namun tidak dapat diandalkan selamanya. 

“[Anti-dumping] hanya sekedar obat dari penderitaan, dalam jangka menengah dan panjang memperkuat daya saing, hal ini perlu dilakukan baik dari sisi efisiensi biaya produksi maupun penguatan akses pasar,” tutup Faisal. 

Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto, bersama Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, dan Dirjen Bea dan Cukai juga bertemu dengan Prabowo untuk membahas Sritex. 

Pemerintah bergerak cepat menyelamatkan Sritex dan 11.249 pekerjanya. Pravo segera turun tangan untuk memerintahkan kelanjutan produksi industri dan ekspor. 

Airlangga mengatakan, hal serupa juga terjadi pada salah satu industri di Jawa Barat. “Itu terjadi di Jawa Barat, ketika industri di Kawasan Berikat digugat pailit, bisa tetap beroperasi. Bea dan Cukai bertemu dengan Bendahara dan Sritex agar bisa maju dalam jangka pendek.” amanatnya, langkah-langkah tambahan harus diperbarui,” ujarnya, Selasa (29/10/2024) di Kantor Kementerian Koordinator Perekonomian. 

Berdasarkan catatan dunia usaha, Sritex resmi dinyatakan pailit berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Semarang dengan nomor perkara 2/Pdt.Sus-Homologasi/2024/PN Niaga Smg. Pembacaan putusan pailit Sritex dan perusahaan lainnya digelar pada Senin (21 Oktober 2024) di Pengadilan Negeri Semarang Niaga.   

Dikutip dari situs resmi SIPP PN Semarang, Kamis (24/10/2024), penggugat yakni PT Indo Bharat Rayon mengajukan pembatalan perjanjian dengan tergugat karena tidak memenuhi kewajiban pembayarannya. 

Simak berita dan artikel lainnya di Google News dan WA Channel

By admin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *