Bisnis.com, Jakarta – Berdasarkan data yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) pada Juni 2024, emisi gas rumah kaca (GRK) Indonesia secara umum mengalami tren peningkatan pada tahun 2018 hingga 2022.
Data tersebut juga menunjukkan adanya pergeseran penyumbang emisi gas rumah kaca terbesar, dimana sektor energi selalu menjadi yang teratas pada tahun-tahun sebelumnya, namun sektor industri proses akan menggantikan sektor energi pada tahun 2022.
Dibandingkan target business as Usual (BAU) yang tertuang dalam Nationally Komited Contribution (NDC) Indonesia, realisasi tersebut dinilai sudah melampaui target.
Target emisi yang tercantum dalam BAU merupakan emisi hipotetis yang disusun dengan asumsi tidak akan diterbitkan pedoman lebih lanjut untuk menangani perubahan iklim setelah tahun dasar.
Indonesia baru-baru ini menetapkan target untuk mencapai emisi nol bersih (NZE) pada tahun 2060. Target dalam NDC adalah membatasi kenaikan suhu global tidak lebih dari 2 derajat Celcius dibandingkan suhu sebelum revolusi industri pada abad ke-18. (batas yang lebih ambisius pada 1,5 derajat Celcius).
Pencapaian NZE dalam waktu sekitar 35 tahun akan menjadi tantangan besar bagi Indonesia karena pencapaian ini relatif singkat jika mempertimbangkan kebutuhan reformasi untuk mencapai NZE. Reformasi tersebut meliputi transisi dari ketergantungan terhadap energi fosil, perubahan gaya hidup, perbaikan berbagai infrastruktur kegiatan ekonomi, pencegahan deforestasi dan pengembangan serta penerapan teknologi ramah lingkungan.
Untuk mencapai tujuan membatasi kenaikan suhu global, manusia mengandalkan kemampuan alam dalam menyerap karbon dioksida. Padahal, peran alam dalam pengendalian emisi gas rumah kaca jelas tertuang dalam Perpres Nomor 98 Tahun 2021 Pasal 3 ayat (4) yang menyebutkan bahwa “penurunan emisi GRK…terutama didukung oleh pengendalian emisi GRK di sektor kehutanan. Penyimpanan/penguatan karbon Menjadi…”
Berdasarkan Laporan Penilaian 6 yang diterbitkan oleh Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim, selama enam dekade ekosistem darat dan laut telah menyerap hampir setengah emisi karbon dioksida dari aktivitas manusia. Dalam berbagai model yang dirancang untuk memprediksi iklim masa depan, kapasitas alam dalam menyerap emisi karbon dioksida dianggap konstan, artinya kapasitas ini akan terus berlanjut di masa depan tanpa perubahan signifikan. Namun apakah alam benar-benar mempunyai kapasitas yang tidak terbatas untuk menyerap karbon dioksida?
Berdasarkan penelitian Pan et al (2024) dalam Nature, terdapat tanda-tanda berkurangnya daya serap ekosistem darat akibat penuaan hutan, konversi hutan, dan kondisi kemarau yang berkepanjangan. Hal yang sama juga terjadi pada ekosistem laut yang telah menyerap sebagian panas akibat kenaikan suhu global.
Berdasarkan penelitian Lee dkk (2024) dalam Journal of Sea Research mengemukakan bahwa kenaikan suhu air laut berpotensi menurunkan kemampuan laut dalam menyerap karbon dioksida.
Peran alam dalam membatasi kenaikan suhu global dilakukan dengan meningkatkan kemampuan alam dalam menyerap dan menyimpan karbon dioksida. Namun kemungkinan besar alam akan mencapai titik jenuh dalam menyerap karbon dioksida, sehingga harapan dan perhatian akan diarahkan pada penggunaan teknologi untuk mengendalikan emisi gas rumah kaca.
Indonesia telah memiliki kebijakan pengendalian emisi gas rumah kaca yaitu Perpres No. 98 Tahun 2021. Salah satu tujuan Perpres berdasarkan Pasal 2 ayat (1) adalah “…landasan penerapan Nilai Ekonomi Karbon (NEK)”. .” Berdasarkan keputusan presiden, NEK didefinisikan sebagai “nilai setiap unit emisi gas rumah kaca yang dihasilkan dari aktivitas manusia dan aktivitas ekonomi”.
Mengingat data BPS yang menunjukkan bahwa sektor industri pengolahan menyumbang besar terhadap emisi gas rumah kaca nasional, maka diperlukan upaya serius oleh NEK untuk menurunkan emisi di sektor ini. Bentuk mekanisme NEK pada dasarnya dilaksanakan dengan memberikan insentif (dalam hal penurunan emisi) dan disinsentif (dalam hal peningkatan emisi) pada sektor-sektor tertentu.
Salah satu bentuk disinsentif untuk mengurangi emisi karbon adalah dengan mengenakan harga pada setiap ton emisi gas rumah kaca yang dilepaskan ke atmosfer. Penetapan harga pada setiap emisi karbon berpotensi mengurangi emisi karbon karena penetapan harga memaksa pelaku usaha untuk mengatasi dan mengendalikan emisi gas rumah kaca dalam operasinya.
Agar penerapan NEK efektif dalam mencapai tujuan penurunan emisi gas rumah kaca, maka Perpres tersebut harus ditindaklanjuti dengan peraturan turunan di bidang industri.
Misalnya pembatasan emisi pada beberapa sektor industri (terutama industri dengan emisi karbon yang besar) harus dilakukan dengan menerbitkan izin emisi karbon. Agar tetap sejalan dengan target NDC, yang memerlukan upaya lebih ambisius mendekati tahun target NZE, maka penerbitan izin emisi karbon harus lebih rendah setiap tahunnya.
Potensi keterbatasan kemampuan alam dalam menyerap dan menyimpan karbon dioksida memerlukan pengembangan dan penerapan teknologi ramah lingkungan. Keterbatasan pendanaan seringkali menjadi permasalahan terkait teknologi ramah lingkungan. Namun hambatan ini berpotensi diatasi dengan memberikan insentif. Insentif NEK salah satunya tertuang dalam Sertifikat Penurunan Emisi GRK (SPE-GRK) yang merupakan salah satu instrumen pertukaran karbon.
Misalnya saja pada sektor energi (yang merupakan sektor dengan emisi karbon yang tinggi) emisi dapat dikurangi dengan memanfaatkan energi panas bumi sebagai pembangkit listrik.
Pengembangan panas bumi dapat terhambat oleh biaya pengembangan yang tinggi, namun potensi pendapatan dari energi panas bumi tidak dapat menutupi biaya yang membuat proyek menjadi tidak menarik (dalam istilah finansial, IRR proyek lebih kecil dari biaya pendanaan).
Penurunan IRR terjadi pada saat pembangunan pengembangan panas bumi Ulubelu Unit 3-4 dan Lahendong 5-6 yang dioperasikan oleh PT. energi panas bumi pertamina. Dengan dikeluarkannya skema kredit karbon (yang merupakan bentuk SPE-GRK dan insentif) maka IRR kedua proyek dapat ditingkatkan sehingga menjadikan proyek tersebut lebih menarik.
Terakhir, penerapan NEK sebagaimana tertuang dalam Perpres Nomor 98 Tahun 2021 perlu mendapat perhatian lebih serius agar berdampak pada penurunan emisi karbon. Keparahan ini semakin diperlukan ketika kapasitas penyerapan karbon di alam berkurang.
Simak berita dan artikel lainnya di Google News dan WA Channel