Bisnis.com, JAKARTA – Pemerintah masih mengkaji kemungkinan menyasar skema penyaluran bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi. Salah satu opsinya adalah dengan mengubah dana hibah menjadi hibah langsung (BLT).
Dengan konsep BLT, bahan bakar akan dipasarkan dengan harga pasar. Masyarakat yang tidak mampu membeli BBM dengan harga pasar ditambah uang BLT.
Harga BBM Pertalite bersubsidi produksi PT Pertamina (Persero) saat ini dipatok Rp 10.000 per liter. Namun harga BBM (RON) oktan 90 bukanlah harga asli karena disubsidi pemerintah.
Dibandingkan harga BBM Vivo yang 90, setara Pertalite adalah Rp 12.090 per liter pada November 2024. Artinya, misalnya harga asli Pertalite. Sekitar Rp 12.000 per liter.
Lalu berapa jumlah BLT yang ideal jika skema subsidi BBM berubah?
Analis senior Lembaga Aksi Strategis dan Ekonomi Indonesia (ISEAI) Ronny P Sasmita mengatakan, total anggaran BLT BBM biasanya akan lebih kecil dibandingkan anggaran subsidi BBM.
Faktanya, target audiens BLT sangat unik sehingga hanya kelompok tertentu saja yang layak menerimanya. Berbeda dengan subsidi BBM saat ini yang cenderung bersifat menyeluruh.
Pada laporan keuangan Buku II tahun 2025, kemungkinan subsidi energi pada tahun 2024 sebesar 192,75 miliar. Jumlah tersebut sudah termasuk subsidi BBM, LPG, dan listrik. Untuk subsidi BBM dan LPG 3 kg diperkirakan sebesar Rp 112,02 miliar. Sisanya Rp 80,72 miliar untuk subsidi listrik.
Sementara terkait besaran BLT subsidi BBM yang ideal, Ronny mengatakan hal itu bergantung pada kebijakan pemerintah ke depan.
Soal besarannya, saya kira tergantung kemauan politik pemerintah di satu sisi dan di sisi lain kalkulasi pemerintah terkait kenaikan biaya hidup warga pasca penghapusan BBM, kata Ronny. kepada Bisnis. , Senin (Senin). 11/04/2024).
Padahal, perkiraan subsidi BLT BLT setidaknya bisa mencapai Rp 180.000 per penerima manfaat. Angka tersebut diperoleh dengan asumsi pengembalian harga bahan bakar sesuai keadaan keekonomian akan turun sekitar Rp 3.000 per liter.
Lalu, dengan asumsi seseorang mengonsumsi 2 liter per hari, maka ada biaya tambahan sebesar Rp 6.000 per hari. Kemudian kalikan jumlahnya dengan 30 hari, hasilnya sama dengan Rp 180.000 per bulan.
Namun, kata Ronny, jumlah tersebut terbatas. Sebab, kenaikan harga BBM berpotensi menyebabkan kenaikan harga bahan pokok dan barang lainnya.
Jadi peningkatan beban belanja masyarakat akibat multiplier effect kenaikan BBM juga harus diperhatikan. Jadi besaran BLT yang ideal bisa lebih dari Rp 180.000, mungkin Rp 250.000 per bulan. Ronny menjelaskan.
Dengan imbalan tiga dolar, Bhima Yudhistira, Direktur Pusat Studi Ekonomi dan Hukum (Celios), mengatakan bahwa di satu sisi, pengalihan subsidi energi ke BLT dapat menghemat impor bahan bakar, sekaligus mengurangi anggaran subsidi secara signifikan. Hal ini memaksa masyarakat untuk menggunakan transportasi umum dan mempercepat transisi energi.
Namun perlu diperhatikan bahwa tidak semua pengguna BBM bersubsidi masuk dalam kategori miskin. Oleh karena itu, jika mekanismenya ingin diubah, BLT juga harus memenuhi kebutuhan kelompok paling rentan dan aspirasi kelas menengah.
Lebih lanjut Bhima menjelaskan, cita-cita kelas menengah atau masyarakat yang bergerak menuju kelas menengah mencapai 137,5 juta orang atau hampir 50% penduduk Indonesia.
“BLT hanya menyasar masyarakat miskin, dan kelas menengah yang rentan bisa menjadi miskin akibat penghapusan subsidi BBM karena sebelumnya mereka tidak tergolong miskin,” kata Bhima.
Ia khawatir jika cakupan BLT sebagai kompensasi subsidi BBM dibatasi, maka daya beli akan melemah secara signifikan. Selain itu, inflasi bisa meningkat karena pengguna BBM bersubsidi juga merupakan perusahaan UMKM.
“Perlu dikaji dampak kenaikan biaya operasional usaha kecil dan mikro. Kalau tidak hati-hati, kita khawatir tahun depan konsumsi dalam negeri akan tumbuh di bawah 4%,” ujarnya.
Simak berita dan artikel lainnya di Google News dan WA Channel